Senin, 12 Oktober 2009

JPKP BUTON

CAPAIAN-CAPAIAN YANG DIDAPAT SELAMA IMPLEMENTASI PROGRAM YANG MENGHASILKAN PERUBAHAN YANG SANGAT MEMBANTU TIM DRIVING CHANGE DALAM KERJA-KERJA KOMUNITAS


Untuk Kota Bau-Bau

Selama implementasi program, tim DC untuk wilayah Kota Bau-Bau banyak melakukan lobby-lobby di tingkat pemerintah, antara lain ; melobby pada saat pelaksanaan musrenbang. 3 Tim DC Kota dipercaya untuk masuk sebagai fasilitator musrenbang, dari pelaksanaan musrenbang Kelurahan sampai pada musrenbang tingkat Kecamatan dan pemerintah juga membuka ruang serta diberikan dukungan untuk dapat mensinergiskan pelaksanaan musrenbang dengan program DC yang mendorong pelaksanaan musrenbang secara partisipatif yang mewajibkan keterlibatan masyarakat miskin (laki-laki & perempuan) di dalamnya.
Pada saat musrenbang tingkat Kota tim DC juga dilibatkan, dan secara langsung memperjuangkan isu-isu yang muncul di tingkat komunitas dan juga isu yang didapat dari hasil PPA, sehingga usulan-usulan masyarakat dari tingkat musrenbang kelurahan sampai pada musrenbang Kota dapat dikawal dan dipastikan masuk sampai pada musrenbang Kota.

Dibeberapa lokasi basis implementasi program DC kegiatan pra musrenbang yang diadakan oleh komunitas nelayan miskin yang didampingi oleh CO, pada saat pelaksanaan musrenbang Kelurahan, hasil dari pra musrenbang tersebut di jadikan panduan usulan masyarakat. Dengan penyadaran-penyadaran yang selalu dibangun oleh CO ditingkat komunitas juga turut mendorong semangat komunitas (dalam hal ini komunitas yang selalu termarginalkan) untuk sadar akan pentingnya partisipasi dari semua unsur masyarakat baik dari kalangan atas sampai pada kalangan bawah terhadap proses pelaksanaan musrenbang dalam merencanakan dan menganggarkan pembangunan.

Untuk Kabupaten Buton

Di Kabupaten Buton, ada beberapa Desa yang tidak pernah melakukan musrenbang, karena masyarakatnya belum paham dan mengerti tentang pentingnya musrenbang dilakukan dan dari pemerintah kabupaten sendiri sosialisasi musrenbang tidak pernah dilakukan. Tim DC Kabupaten dalam hal ini peran CO sangat penting sekali, melalui penyadaran-penyadaran yang selalu diberikan kepada komunitas tentang pentingnya musrenbang dan peran masyarakat khususnya masyarakat miskin untuk mengintervensi proses perencanaan dan penganggaran pembangunan di desa sangat berpengaruh terhadap pembangunan dan perkembangan Desa.
Berangkat dari kegiatan –kegiatan penyadaran yang dilakukan maka pada saat pelaksanaan musrenbang Kabupaten, desa-desa yang sebelumnya tidak pernah melakukan musrenbang dengan kesadaran untuk bisa maju dan berkembang, mulai melakukan proses musrenbang Desa secara swadaya dan mengawalnya sampai tingkat Kecamatan dan kabupaten.

Perubahan positif yang sangat baik lainnya di masyarakat yaitu setelah mereka mengikuti pElatihan pembacaan anggaran dan seringnya diberikan penyadaran-penyadaran oleh Tim DC Kabupaten, masyarakat sekarang sudah melek regulasi-regulasi yang memastikan peran masyarakat di dalamnya untuk ikut serta dalam setiap proses perencanaan dan penganggaran pembangunan.
Armand Manila
Koordinator JPKP BUTON

Rabu, 30 September 2009

Mengkapling Laut Menggusur Nelayan


HAK ASASI
Mengapling Laut Menggusur Nelayan?
Sabtu, 12 September 2009 05:01 WIB
SUDIRMAN SAAD

Hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) disayang, tetapi juga ditentang. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN mendesak pemerintah agar segera melaksanakan UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Bagi mereka, UU tersebut melindungi kepentingan masyarakat adat karena mengakui hak masyarakat adat atas perairan pesisir sebagai HP3 (Deklarasi Sinar Resmi, Sukabumi, 8 Agustus 2009). Sebaliknya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) justru meminta agar UU No 27/2007 dicabut karena mengapling laut dan menggusur nelayan (Kompas, 21 Agustus 2009).

Bagi AMAN, desakannya tersebut sangat masuk akal, mengingat sejak awal sudah terlibat dalam proses perumusan UU No 27/2007. Mereka mengalami pasang surut perdebatan substansi UU, bahkan memelopori agar eksistensi masyarakat adat diakui. Proses itu berlangsung sepanjang tujuh tahun sejak 2000 hingga 2007. Desakan AMAN akhirnya memang diakui dalam UU tersebut sehingga berkepentingan terhadap pelaksanaannya sesegera mungkin.

Berbeda halnya dengan KIARA. Koalisi LSM yang memiliki pengalaman dalam mengadvokasi masyarakat di sekitar hutan dan taman nasional laut ini punya catatan penggusuran rakyat akibat implementasi hak pengusahaan hutan dan taman nasional laut. Mereka khawatir ketika HP3 dipraktikkan kelak, tragedi penggusuran rakyat dari hutan adat dan wilayah penangkapan ikan nelayan akan terulang kembali di perairan pesisir.

Selain itu, ada juga pendapat tengah dari akademisi, seperti Arief Satria dari IPB, yang mengakui bahwa di satu sisi ada justifikasi teoretis yang kuat terhadap HP3, tetapi di sisi lain mengkhawatirkan pemberian HP3 kepada badan usaha. Konsekuensi rezim hak adalah pemegang hak boleh mengalihkan haknya kepada pihak lain sehingga tidak tertutup kemungkinan HP3 masyarakat adat beralih ke badan usaha. Akibatnya, terbuka peluang akumulasi penguasaan perairan pesisir pada badan usaha tertentu. Agar terhindar dari sisi buruk ini, Arief mengusulkan pengusahaan perairan pesisir oleh badan usaha dikembalikan pada rezim perizinan, bukan HP3 (Kompas, 24 Agustus 2009).

Pro-kontra tersebut merupakan sebuah pertanda baik dalam proses produksi hukum. Momentumnya pun tepat karena pemerintah, melalui Departemen Kelautan dan Perikanan, sedang memfinalisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian, Pendaftaran, dan Pencabutan HP3. Proses ini diyakini akan berpengaruh positif terhadap substansi rancangan tersebut karena baik pandangan yang mendukung maupun yang menentang memiliki visi yang sama agar produk hukum yang dihasilkan melindungi masyarakat adat dan tidak menggusur nelayan. Visi seperti ini, sebetulnya, sejalan dengan tujuan ditetapkannya UU No 27/2007, yakni meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ada dua kata kunci yang menjadi latar belakang pro-kontra HP3, yakni pengaplingan laut dan penggusuran nelayan. Kedua hal tersebut sesungguhnya tidak tecermin, baik dalam UU No 27/2007 maupun dalam RPP HP3.
Zonasi laut

HP3 dalam pengertian UU No 27/2007 adalah ”hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu”. Definisi ini memang memberikan hak eksklusif kepada pemegang HP3 untuk mengusahakan perairan pesisir sesuai peruntukannya. Namun, terdapat sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi sebelum HP3 diberikan.
Pertama, wajib ada perda rencana zonasi provinsi/kabupaten/kota yang membagi perairan pesisir sejauh 12 mil menjadi empat kawasan, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan alur pelayaran, dan kawasan strategis nasional tertentu. HP3 hanya boleh diberikan pada kawasan pemanfaatan umum dan kawasan strategis nasional tertentu. Sebaliknya, HP3 dilarang dalam kawasan konservasi dan alur pelayaran.

Pada tingkat kabupaten/kota, kawasan pemanfaatan umum sudah harus dirinci ke dalam subzona, seperti subzona budidaya ikan, rumput laut, mutiara, atau wisata bahari. Rincian semacam ini, selain dimaksudkan agar alokasi ruang sesuai daya dukung sumber daya, juga untuk menghindari terjadinya konflik pemanfaatan. Kelak, sesuai dengan kondisi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, HP3 akan lebih banyak diberikan di wilayah yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

Kedua, sebelum dan setelah HP3 diberikan masih harus menaati persyaratan teknis, administratif, dan operasional. Secara teknis, HP3 harus sesuai dengan zona, besaran, dan volume pemanfaatan sesuai hasil konsultasi publik serta mempertimbangkan hasil pengujian, terutama bagi kegiatan yang berpotensi merusak sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara administratif, pengusul HP3 wajib menyusun dokumen perencanaan yang meyakinkan bahwa pemanfaatan sesuai dengan daya dukung sumber daya. Ketika tiba masanya HP3 diimplementasikan, pemegang HP3 wajib memberdayakan masyarakat sekitar, memberikan akses ke sempadan pantai atau muara sungai, serta merehabilitasi sumber daya yang rusak.
Jika akhirnya HP3 diberikan kepada masyarakat adat atau badan usaha, sejatinya merupakan implementasi rencana zonasi laut, bukan pengaplingan yang lebih berkonotasi monopolistik dan semata-mata berorientasi ekonomi. HP3, selain bertujuan ekonomi, juga sosial dan budaya sebagaimana tecermin dari tujuan UU No 27/2007 dan prasyarat pemberian HP3.

Pemda menginisiasi

HP3 juga dapat dipastikan tidak menggusur nelayan dari wilayah penangkapan ikannya. Demokratisasi proses produksi hukum, termasuk perda, akan memungkinkan seluruh segmen masyarakat untuk memengaruhi substansi kebijakan. Apalagi DKP, melalui Peraturan Menteri (Permen) No 16/2008 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Zonasi dan Permen No 8/2009 tentang Peran Serta Masyarakat, telah mengatur bahwa keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan rencana zonasi dan implementasinya sebagai sebuah keniscayaan. Tidak ada penyusunan rencana zonasi tanpa keterlibatan masyarakat.

Ketika pemda menginisiasi penyusunan rencana zonasi, langkah pertama yang harus ditempuh ialah membentuk tim yang mensyaratkan representasi masyarakat sebagai anggotanya. Selanjutnya, tim melakukan kajian ilmiah untuk mengukur kapasitas sumber daya dan menyerasikannya dengan pemanfaatan yang sedang berlangsung. Pada tahap ini, kepentingan nelayan terartikulasikan sehingga alokasi zona untuk nelayan akan terlindungi.

Perlindungan nelayan dan masyarakat adat tidak berhenti pada tahap perencanaan saja. Tatkala Perda Rencana Zonasi sudah ditetapkan, proses pemberian HP3 pun lagi-lagi memberikan perlindungan hukum kepada mereka.

Dalam RPP HP3, masyarakat adat, yang kenyataannya sebagian besar nelayan kecil, pemberian HP3 menempuh mekanisme ”pengakuan hak adat”, sedang bagi badan usaha dan perorangan melalui mekanisme ”pemberian hak”. Mekanisme yang demikian ini, selain memberikan kemudahan, juga penghargaan terhadap hak asal-usul masyarakat adat.

Kekhawatiran akan terjadinya monopoli HP3 oleh badan usaha melalui jalan peralihan hak juga sudah diantisipasi dalam RPP HP3. Bagi badan usaha dan perorangan ada pembatasan maksimum luas HP3, sedang bagi masyarakat adat disesuaikan dengan kondisi yang sudah berlangsung turun-temurun. Peralihan HP3 pun sangat terkontrol karena setiap peralihan HP3 wajib mendapat persetujuan pemerintah/pemda.

Sekalian penjelasan di atas memastikan bahwa HP3 bukan pengaplingan laut dan tidak menggusur nelayan. Sebaliknya, justru memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan nelayan kecil melebihi perlindungan yang telah diberikan oleh segenap produk hukum sepanjang sejarah Indonesia.

SUDIRMAN SAAD : Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan

Bangkok Climate Change Talks 2009

Catatan Bangkok II, 29 September 2009

Oleh: Abdul Halim

Pertama, di sela-sela keriuhan perundingan di Markas Besar UNESCAP, Bangkok, penulis menyempatkan diri berbincang dengan Bapak Armi Susandi, delegasi Indonesia yang berposisi sebagai wakil ketua Working Gorup on Adaptation. Dalam perbincangan itu, terlontar pertanyaan dari benak penulis perihal posisi Manado Ocean Declaration/MOD, apakah akan menjadi acuan tim negosiasi Indonesia dan apa wujud proposal yang akan diajukan?Mendengar pertanyaan ini, Bapak Armi menegaskan bahwa, “memang MOD akan menjadi acuan utama delegasi Indonesia dalam perundingan Bangkok kali ini, khususnya dalam skema adaptasi. Meski saat ini baru sebatas pandangan umum dari pelbagai delegasi negara-negara.
Ada kemungkinan, 3-4 hari ke depan akan ada pembahasan mengenai proposal Indonesia”. Membaca MOD, banyak hal perlu dikritisi menyangkut kejelasan konsep pendekatan terpadu pengelolaan sumber daya laut dan pesisir serta posisi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang tinggal di pulau-pulau kecil, dan sebagainya. Kedua hal ini, misalnya, belum diperjelas dalam gagasan dan konsepnya, baik dalam MOD maupun naskah negosiasi AWG-LCA. Sejauh ini, mereka hanya dilakonkan sebagai korban terentan, bukan subyek yang mampu mengelola keberlanjutan ekosistem laut dan pesisir dalam merespons dampak perubahan iklim.
Kedua, saat hendak kembali ke markas SEAFish di De' Moc Hotel, Bangkok, penulis dan Bapak Yuriun, Koordinator JKMA, bertemu dengan Bapak Riris Marhadi, Deputi Direktur Center for Administration of International Cooperation, Departemen Perindustrian sekaligus menjadi wakil dalam delegasi Indonesia. Dalam percakapan ini, beliau menyampaikan bahwa “butuh upaya ekstra untuk mendapat kesepakatan global di pertemuan Bangkok ini”. Ia mengungkapkan bahwa “negara-negara maju tidak mau membuka diri dan keukeuh pada sikapnya. Dalam soal teknologi transfer, misalnya, mereka tidak mau hanya diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus dibarengi oleh besaran biaya sebagai pengganti atas teknologi yang sudah ditransfer ke negara-negara berkembang”.
Ketiga, dari materi siaran pers yang disampaikan oleh International Indigenous Peoples Forum on Climate Change dapat disebutkan beberapa poin sebagai berikut:
(a) Partisipasi aktif dan efektif masyarakat adat, komunitas lokal, dan kelompok rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah kunci untuk mencapai keadilan iklim dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim. Olehnya, pengetahuan tradisional-adat; solidaritas internasional, penegakan HAM mutlak dibutuhkan dalam mengatasi dampak perubahan iklim;
(b) Mendesak dipatuhinya UNDRIP (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) sebagai solusi untuk memperkuat kapasitas dan resiliensi masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam merespons dampak perubahan iklim dan mengejawantahkannya dalam NAMAs (National Adaptation adn Mitigation Actions) dan NAPAs (National Adaptation Plans and Strategies of Actions);
(c) Kebebasan untuk menghayati tata adat dan FPIC (Free, Prior and Informed Consent) menjadi standar perlindungan minimal hak-hak masyarakat adat dari pelbagai kebijakan sektoral, mulai perencanaan hingga penyelesaian konflik; dan terakhir
(d) if there is no full recognition and full protection for indigenous peoples' rights, including the rights to resources, lands and territories, and there is no recognition and respect of our rights of free, prior and informed consent of the affected indigenous peoples, we will oppose REDD and REDD+ and carbon offsetting projects, including CDM projects. All decision making processes on REDD and REDD+, Clean Development Mechanism, Land Use and Land Use Change and Forests (LULUCF), Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU) as well as other ecosystem-based mitigation and adaptation measures and projects must be conditional to the free informed consent of indigenous peoples.
Dari pinggir Sungai New World City Hotel, demikian penulis sampaikan catatannya. Semoga memberi manfaat dan maslahat bagi kita semua.
Salam Keadilan Perikanan,
Abdul Halim+66 8078 460 40 (No Lokal Bangkok)
to be continued