Sabtu, 29 Agustus 2009

PERTEMUAN TAHUNAN KIARA DI BUTON

Sabtu, 29 Aug 2009, | 3

ISU KELAUTAN BUTON POTENSIAL UNTUK DI KEMBANGKAN

BAUBAU-Kesan yang mendalam tampak diraut muka peserta pertemuan tahunan KIARA tahun 2009 yang dilangsungkan di Buton. Betapa tidak, pertemuan yang bertemakan menegakkan keadilan perikanan dimaksud, dikuti banyak lembaga yang konsisten terhadap masa depan laut dan potensinya, tak terkecuali dampak yang terberi bagi masyarakat pesisir.

Komunitas KIARA sendiri, sejak terbentuk tahun 2003, merupakan gabungan LSM berbasis lokal, nasional, maupun internasional antara lain, JPKP, Bina Desa, FSNN, Walhi, Layar Nusantara, dan Kikis. Pertemuan yang dipusatkan di Hotel Mira tersebut, dijadikan komitmen bersama untuk menjadikan Buton yang kaya akan potensi kelautan untuk dijadikan konsep sebagai pembanding dengan daerah lain seperti Menado dan Maluku.

KIARA pun akan memberikan penekanan yang rasional, tentang sebuah kebijakan pemerintah, baik lokal, regional, serta mancanegara, melalui program kongkrit berbasis pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir yakni, peningkatan ekonomi nelayan, mengadakan pelatihan kompetitif, yaitu pengolahan limbah kerang menjadi pupuk pertanian, serta fungsi paralegal yang mendukung pemberian acces masyarakat pesisir terhadap informasi terlkait aktifitas kelautan dan kelanjutannya.

"Komunitas KIARA ingin berperan dalam menciptakan sebuah percepatan gagasan produktif, yang berpihak pada eksistensi masyarakat serta pemanfaatan hasil laut yang lebih terarah bagi kesejahteraan mereka, melalui intervensi kebijakan pemerintah," sisip Sekjend KIARA, M. Riza Damanik, dua hari lalu.

Sebagai tuan rumah, tentunya posisi tawar ini dimanfaatkan JPKP Buton untuk promosi aksi lembaganya. "JPKP terus membangun komunikasi dengan pemerintah terkait, respons mereka sangat baik. Tentunya, kinerja yang bertalian dengan programn secara langsung, menjadi target utama dalam mewujudkan cita-cita KIARA yang luhur," ungkap Arman Manila, Koordinator JPKP Buton, disambut aplaus dari peserta.

Dia melanjutkan, di Buton, lembaga yang pimpinnya mempunyai dua item proyek, yakni di Mawasangka,dan ditambah beberapa daerah potensial yang menjadi perhatian, misalnya Pantai Katembe dan masyarakatnya, serta keindahan potensi di Selat Lasori. "Semoga saja. langkah JPKP sejalan dengan visi pemerintah Kabupaten Buton, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, untuk memajukan kelestarian potensi kelautan dan masyarakatnya tentunya," tambah pria berambut putih itu, optimis.

Langkah progresif dalam menggapai tujuan KIARA, mendorong pihak negara, agar sedapatnya melinddungi hak-hak nelayan yang selama ini masih disepelekan, terbukti maraknya kasus memilukan bagi nelayan, meminta negaara melindungi perairan bagi nelayan tradisional, bersama-sama mendefinisikan pemahaman nelayan, yang saat ini telah ddisimplifikasi, tidak menyentuh pada desentralisasi profesi, lalu bagaimanaa peran perempuan nelayan yang berasal dari pesisir,dan ikut memikirkan dampak dari perubahan iklim, yang menurut data FAO, sebanyak 24 ribu nelayan meninggal akibat kondisi laut yang ekstrem. "KIARA pun berinisiatif, untuk mempelopori ide Asurransi Nelayan," ketus Riza.

Beberapa agenda konsultatif lanjutan dari KIARA antara lain, mempersiapkan sistim dokumentasi dan data integral tentang kondisi terkini dari arah pergerakan setiap anggotanya. Belum lagi, rencana partisipasi dalam pelbagai agenda kelautan level dunia di Kamboja, Copenhagen, serta Jerman.(p8)

SUMBER : http://www.radarbuton.com/index.php?act=news&nid=34837

NEGARA SAJA MENGEMIS

Jumat, 28 Aug 2009, | 7

Negara Saja Mengemis
Oleh: Saratri Wilonoyudho

FATWA yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan, Madura, bahwa hukum mengemis adalah haram tidak saja dapat dibantah dari sisi hukum negara, tapi juga hukum agama. Apa dasarnya? Fatwa tersebut menunjukkan bahwa MUI selama ini tidak "kreatif" dalam mengeluarkan fatwa. Sebab, umumnya, objek fatwa hanya orang-orang kecil.

Sebut saja mulai fatwa haram golput, merokok, Facebook, tayangan The Master, hingga terakhir fatwa mengemis (jangan-jangan silet juga haram karena sering digunakan untuk menjambret). Namun, kita tidak pernah mendengar MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan DPR membolos, partai besar membohongi rakyat dari oposisi menjadi koalisi (padahal, rakyat ketika memilih berharap peran oposisi dijalankan misalnya), mengharamkan saling menjelekkan antarelite, dst. Singkatnya, orang-orang elite bebas dari fatwa haram.

Kembali ke soal mengemis itu haram. Pertanyaannya, apakah ada hukum agama dan hukum negara yang melarangnya? Justru, kalau tidak salah, negara wajib menyantuni orang-orang miskin serta anak-anak telantar dan yatim piatu, juga menjamin pekerjaan dan hak asasi, dst. Pertanyaan selanjutnya, kok tidak ada fatwa haram jika negara menelantarkan mereka?

Siapa pun orangnya kalau ditanya pasti tidak mau menjadi pengemis. Jadi, kalau dikenakan "pasal" haram, sang pengemis bisa saja mengelak, "Lho, memang siapa yang mau jadi pengemis? Kalau boleh, saya minta dilahirkan menjadi anak konglomerat." Bahkan, pengemis yang "cerdas" bisa saja membela diri, "Negara saja mengemis, kenapa tidak diharamkan?" Lihat saja proposal-proposal yang diajukan negara-negara berkembang kepada negara-negara maju kepada IMF, Bank Dunia, lembaga-lembaga donor internasional, dst. Bukankah pada dasarnya itu juga mengemis atau minta bantuan tanpa kerja kreatif?

Bahkan, kalau dirunut lebih jauh, faktanya makin mengentak. Sebab, banyak pula panitia pembangunan masjid yang juga "mengemis" lewat proposal atau mengedarkan kotak amal di bus kota, bahkan mempekerjakan orang dengan cara membeli stempel panitia pembangunan dan sebagainya. Bukankah itu juga "mengemis" meski niatnya baik untuk ibadah? Kenapa tidak ada fatwa haram? Para pengemis juga menjalankan "ibadah" untuk menghidupi anak istri.

Orang-Orang Kalah?

Memang ada orang yang mengemis karena didorong rasa malas, bahkan ada yang menipu (misalnya pura-pura berkaki buntung). Pekerjaan mengemis juga "enak". Sebab, hanya menadahkan tangan, konon uang puluhan ribu masuk ke kantong. Bahkan, TV swasta pernah menayangkan reality show seorang pengemis yang pulang ke rumah langsung bikin kopi susu dan nonton video (hasil mengemis) di rumah yang layak huni (juga hasil mengemis). Pengemis itu mengatakan, paling sial dirinya bisa memperoleh uang 50 ribu rupiah dalam sehari.

Namun, secara umum para pengemis adalah masyarakat menengah ke bawah yang sehari-hari sudah kalah, stres, dan susah mencari penghidupan. Dalam logika Prof Satjipto Rahardjo, guru besar hukum Undip Semarang, orang yang memiliki pekerjaan layak, sejelek apa pun wataknya, tidak akan terangsang untuk mengemis, begitu juga sebaliknya. Hal senada dikatakan oleh Barington Moore (1978). Dia menjelaskan bahwa kepatuhan atau perlawanan kaum muda (termasuk pengemis) sangat dipengaruhi kondisi sosial atau kekuasaan serta pembagian barang dan jasa.

Para pengemis adalah orang miskin yang terbentuk akibat pembangunan yang timpang. Lalu, terbentuk kelompok marginal yang tidak mampu berperan dalam proses itu sehingga mengancam stabilitas sosial. Dalam masyarakat industri, nasib manusia seolah-olah tidak ditentukan oleh Tuhan, melainkan tertib sosial buatan manusia. Dalam sastra Eropa, alienasi psikologis senantiasa digambarkan manusia yang jiwanya terpecah, mengalami keputusasaan terhadap kemungkinan kelestariannya (Murchland, 1971).

Dalam metanarasi postmodernisme, akan terlihat bahwa keseluruhan sistem sosial terus berubah dan berujung kesia-siaan masyarakat modern untuk membangun "sangkar" yang aman. Orang terus tenggelam dalam perasaan krisis (entzauberung). Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna oleh otonomisasi dan sekularisasi. Sehingga, rasa aman lenyap. Kedua, masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri sebagai pusat semesta. Ketiga, kebersamaan nilai goyah karena liberalisasi atau protes individual. Keempat, jarum jam atau waktu menggantikan tokoh mistis. Lalu, kelima, di atas segalanya, pribadi menemukan diri sendiri secara amat kuat sehingga Peter L. Berger menyebutnya lonely crowd (Subangun, 1993).

Dalam karya sastra Eropa, sering digambarkan orang dengan jiwa terpecah akibat keputusasaan, sampai lahir beberapa tirani fasisme.

Jiwa manusia pengemis sungguhan akan terpecah, mengalami keterasingan. Mereka tidak takut menerjang siapa saja karena memiliki logika sederhana saja: Tidak akan kehilangan apa-apa jika dia mati. Mungkin itulah gambaran para pengemis. Mereka kalah di mana saja. Jangankan untuk hidup, sekadar untuk makan sehari-hari saja dia harus berpanas-panas di bawah terik matahari, berjalan puluhan kilometer dari rumah ke rumah, harus berkelahi dengan satpol PP dan rasa malu, serta kini harus "berkelahi" dengan panutan mereka, yakni MUI.

MUI memang tidak salah. Namun, tolong keluarkan juga banyak fatwa haram tentang perilaku para elite agar rakyat aman. Bukankah amirul mukminin itu berarti amanlah kita jika ada dia, baik harta maupun nyawanya? Artinya, muslim adalah orang yang mampu menyelamatkan orang lain. (*)

*) Saratri Wilonoyudho , peneliti dan dosen Universitas Negeri Semarang

Sumber: http://www.radarbuton.com/index.php?act=news&nid=34762

FREE TRADE AGREEMENT ASEAN - CHINA

FTA ASEAN-CHINA
Siapkah RI Meraih Peluang?

Jumat, 28 Agustus 2009 | 05:27 WIB

Oleh Stefanus Osa

Tinggal empat bulan lagi, kesepakatan perdagangan bebas atau free trade agreement ASEAN-China diimplementasikan. Itu berarti persaingan di pasar global, khususnya Asia, tahun 2010 bakal kian gencar. Kesiapan industri untuk menangkap peluang ini tak bisa ditawar-tawar lagi.

Video profil Provinsi Henan, China, berdurasi sekitar 20 menit pada Forum Ekonomi China-Indonesia di Jakarta, Senin (24/8), mengundang kekaguman. Alunan musik tradisional China menjadi pembuka.

Mulai dari rasa syukur dalam peribadatan tradisional China, mata diajak menikmati keindahan alam Henan dari langit. Peta kedekatan Henan dan Indonesia pun ditampilkan. Kemudian, keragaman kuliner hingga kekuatan pembangunan industri makanan dan minuman. Lantas, industri alat berat dan tekstil.

Yang tak dilupakan, seluruh aktivitas industri sudah didukung dengan infrastruktur yang memadai. Kesiapan pembangunan jalan dan jalur kereta api serta pelabuhan dan bandar udara. Juga pasar modal. Gambaran profil sebuah provinsi menjadi wilayah yang utuh.

Itu baru profil satu provinsi, belum profil kekuatan dan keanekaragaman negara China dengan 23 provinsi yang ada. Daya cengkeram China bukan hanya dalam membidik pasar, tetapi juga cara memanfaatkan peluang berinvestasi, khususnya dalam FTA ASEAN-China.

Provinsi Henan menunjukkan kesiapannya bagi investasi dan sekaligus mencari peluang bisa memasarkan keunggulan produknya, bahkan mencari peluang berinvestasi di negara lain.

Sebanyak 120 anggota delegasi dipimpin Gubernur Henan Guo Gengmao menjajaki Indonesia. Beberapa penerjemah disiapkan untuk mendukung proses temu bisnis dengan pengusaha Indonesia. Serius.

Duta Besar China untuk Indonesia Zhang Qiyue menunjukkan alasan kesiapan dalam FTA ASEAN-China. Sekarang Indonesia dipadang sebagai mitra perdagangan terbesar ke-4 di ASEAN bagi China.

Dari statistik China, semester I-2009, investasi nonfinansial China ke Indonesia 100 juta dollar AS. Investasi Indonesia ke China 65 juta dollar AS. Dalam situasi investasi asing langsung (FDI) dunia anjlok, investasi kedua negara berkembang cepat.

Unjuk kesamaan

Henan berupaya menunjukkan kesamaan dengan Indonesia sebagai negara yang kaya. Mulai dari kesamaan peradaban, kekayaan alam, industri pariwisata, hingga kapasitas ekonomi yang besar. Semua tinggal digarap.

Tahun 2005, Indonesia dan China membentuk kemitraan strategis. Babak baru kerja sama, termasuk kerja sama Indonesia dan Provinsi Henan.

Hingga tahun 2008, investasi Indonesia di Henan sebanyak 15 proyek senilai 9,94 juta dollar AS. Nilai perdagangan Indonesia dengan Henan tahun 2008 mencapai 216 juta dollar AS, naik 47 persen dari tahun 2008. Komoditas perdagangan utama, antara lain, karet dan pasir besi.

FTA ASEAN-China akan menjadi entitas ekonomi terbesar di dunia dengan 1,9 miliar penduduk. Tepat 1 Januari 2010, China akan menurunkan pajak bea masuk bagi 93 produk asal ASEAN menjadi nol persen.

”Sangat menguntungkan Indonesia dan China, khususnya Henan. Ini energi pendorong kerja sama saling menguntungkan,” kata Guo Gengmao.

Bukti kesiapan pun sudah dirintis. Bukan hanya menjajaki, saat kunjungan forum ekonomi selama tiga hari ini juga ditandatangani enam perjanjian kerja sama di berbagai bidang senilai total 200 juta dollar AS.

Benarkah? Menteri Perindustrian Fahmi Idris saja mengakui, ”China sudah siap. Industri tekstil bukan hanya menjadi industri terbesar dan efisien. Hulu hingga hilir sudah dikuasai. Kompetisi industri tekstil berat karena Indonesia baru mulai merestrukturisasi mesin tekstil.”

Duta Besar RI untuk China Sudrajat mengatakan, FTA ASEAN-China tidaklah perlu ditakuti. China sangat fleksibel. Pelaksanaan FTA bisa dijadwal kembali kalau belum siap.

Suka atau tidak, pasar global menuntut semua negara tidak hanya jago kandang. Apakah Industri Indonesia siap terjun dalam persaingan?

Sumber: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/28/05275776/siapkah.ri.meraih.peluang

HAK PENGUSAHAAN PESISIR MULAI 2011

Hak Pengusahaan Pesisir Mulai 2011

Jumat, 28 Agustus 2009 | 06:18 WIB

Jakarta, Kompas - Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP3 diberlakukan mulai tahun 2011. Pemanfaatan sumber daya pesisir yang membagi perairan dalam kapling-kapling itu nantinya dikelola masyarakat atau pelaku usaha.

Pada tahun yang bersamaan, pemerintah juga berencana memberlakukan kluster perikanan tangkap yang juga membagi perairan dalam kawasan usaha penangkapan.

Kluster diberlakukan di kawasan teritorial (0-12 mil) hingga Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari garis pantai.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun di Jakarta, Kamis (27/8), mengemukakan, penerapan HP3 berlangsung di kawasan teritorial dan disesuaikan dengan tata ruang dan zona perairan daerah.

Mulai tahun depan, kata Alex, pihaknya memfasilitasi kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.

Untuk tahap awal, ada 20 kabupaten/kota yang siap menyusun peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir.

Dengan demikian, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis tertentu, dan alur pelayaran.

HP3 hanya diterapkan pada kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan usaha perikanan budidaya dan wisata bahari.

Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K Sudirman Saad menambahkan, HP3 memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Bisa dialihkan

HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. ”Komposisi HP3 untuk swasta dan masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Apabila daerah itu membutuhkan investasi besar, HP3 untuk swasta bisa lebih besar,” ujar Sudirman.

Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.

Sudirman menilai sistem perizinan dalam pengelolaan wilayah perairan pesisir memiliki keterbatasan dan sewaktu-waktu berpotensi dicabut oleh pemda.

Sementara itu, HP3 akan memberikan jaminan investasi dan keleluasaan bagi pemegang konsesi untuk mengelola kawasan. ”Dalam HP3, sebagian kedaulatan pengelolaan perairan diserahkan kepada pemegang HP3. Dalam terminologi itu, ada keleluasaan usaha, bisa diperpanjang dan dialihkan,” ujarnya.

Ditanya mengenai peluang tumpang tindih antara pelaksanaan HP3 dan kluster perikanan tangkap, Alex mengemukakan, pihaknya belum melakukan koordinasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP. (LKT)

Sumber: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/28/06185895/hak.pengusahaan.pesisir.mulai..2011

USUT TUNTAS PENJUALAN PULAU INDONESIA

Usut Tuntas Penjualan Pulau Indonesia
By Republika Newsroom
Jumat, 28 Agustus 2009 pukul 14:09:00

JAKARTA-- Munculnya berita penjualan tiga pulau di kawasan Mentawai, Sumatara Barat mengejutkan semua pihak. Atas kondisi tersebut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak agar kasusnya segera diusut tuntas.

Menurut Sekjen KIARA, M Riza Damanik, penjualan pulau-pulau ini mengisyaratkan gagalnya negara menjaga kedaulatan bangsa dan merupakan tindakan yang tak bisa dibenarkan dengan dalih apapun. Sejak Deklarasi Djuanda 1957 telah diingatkan pentingnya negara menjaga kedaulatan dan keselamatan anak bangsanya. Semestinya negara memaksimalkan upaya ini, bukan malah menjualnya.

"Apalagi sampai diiklankan oleh pihak asing,” jelas M. Riza Damanik di sela-sela Pertemuan Tahunan KIARA di Kota Bau-Bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, yang berlangsung 25-28 Agustus 2009.

Dalam siaran pers yang diterima Republika, Jumat (28/8), KIARA menyebutkan, penjualan pulau-pulau ini merupakan ulangan tragedi yang sama pada tahun 2007. Saat itu Karangasem Property melalui situs www.karangasemproperty.commemakai kata “menjual” Pulau Panjang di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat tertulis seluas 33 hektara dan Pulau Meriam Besar tertulis seluas 5 hektare. Setelah ramai diwartakan, pemilik situs Karangasemproperty.com yang adalah warga Belanda meminta maaf dan meralat pulau yang diiklankan bukan dijual, melainkan dibuka untuk penanaman investasi.

Kedua tragedi ini, kata Riza, mengandaikan meluasnya model pengelolaan pulau-pulau berbasis kepemilikan privat, dari pusat hingga daerah. Padahal, dengan anugerah semesta yang sedemikian besar, mestinya pemerintah lebih mengedepankan pengelolaan pulau-pulau tersebut demi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Maka rakyat pula yang harus dilakonkan sebagai pengelola utama.

Penjualan pulau ini bertentangan dengan konstitusi Republika Indonesia. ''Karenanya, pemerintah harus menghentikan pelbagai bentuk perizinan atas kepemilikan swasta (domestik maupun asing) dalam mengelola pulau-pulau di
seluruh wilayah Indonesia,” tambah Riza.

Kepemilikan swasta bertolak belakang dengan amanat konstitusi. Apalagi menyangkut hajat hidup rakyat. “Belajar pada fakta sejarah pengelolaan sumber daya alam di sektor kehutanan dan pertambangan di Indonesia, kepemilikan swasta justru menyingkirkan masyarakat dan menghancurkan tata ekosistem alam.

Pada konteks inilah, pencabutan atas pelbagai kebijakan yang mengarah pada upaya privatisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK) melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) menjadi kebutuhan mendesak yang harus dilakukan oleh pimpinan nasional dan DPR RI,” tutur Riza.

Pengabaian atas fakta buruknya pengelolaan sumber daya alam di sektor kehutanan dan pertambangan oleh swasta dan ancaman terhadap keberadaan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang tinggal di pulau-pulau kecil, serta keberlanjutan tata ekosistem lingkungan hidup yang secara eksplisit bakal dilakukan melalui aturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang PWP-PPK dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 5 Tahun 2008 yang telah direvisi menjadi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap, khususnya aturan terkait Kluster Perikanan, bakal melahirkan pemiskinan di wilayah pesisir dan perluasan kehancuran lingkungan hidup.

“Tak ada alasan bagi Pemerintah dan DPR RI untuk menunda pengusutan keterlibatan asing secara tuntas dalam pengelolaan dan penjualan pulau-pulau tersebut,” tutup Riza.

Adapun ketiga pulau di kawasan Mentawai, Sumatera Barat yang dijual melalui situs www.privateislandsonline.com itu antara lain Pulai Makarono, Siloinak, dan Pulau Kandui. Dalam situs yang dikelola Private Islands Inc dan beralamat di 550 Queen St East Suite 330 Toronto ON M5A 1 V2, Kanada itu merinci, Pulau Makaroni seluas 14 hektar dibanderol US$ 4 juta, Pulau Silionak seluas 24 hektare dihargai US$ 1,6 juta, sedangkan Pulau Kandui yang luasnya 26 hektare dihargai US$ 8 juta. (man/rin)

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/72479/Usut_Tuntas_Penjualan_Pulau_Indonesia