Rabu, 30 September 2009

Mengkapling Laut Menggusur Nelayan


HAK ASASI
Mengapling Laut Menggusur Nelayan?
Sabtu, 12 September 2009 05:01 WIB
SUDIRMAN SAAD

Hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) disayang, tetapi juga ditentang. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN mendesak pemerintah agar segera melaksanakan UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Bagi mereka, UU tersebut melindungi kepentingan masyarakat adat karena mengakui hak masyarakat adat atas perairan pesisir sebagai HP3 (Deklarasi Sinar Resmi, Sukabumi, 8 Agustus 2009). Sebaliknya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) justru meminta agar UU No 27/2007 dicabut karena mengapling laut dan menggusur nelayan (Kompas, 21 Agustus 2009).

Bagi AMAN, desakannya tersebut sangat masuk akal, mengingat sejak awal sudah terlibat dalam proses perumusan UU No 27/2007. Mereka mengalami pasang surut perdebatan substansi UU, bahkan memelopori agar eksistensi masyarakat adat diakui. Proses itu berlangsung sepanjang tujuh tahun sejak 2000 hingga 2007. Desakan AMAN akhirnya memang diakui dalam UU tersebut sehingga berkepentingan terhadap pelaksanaannya sesegera mungkin.

Berbeda halnya dengan KIARA. Koalisi LSM yang memiliki pengalaman dalam mengadvokasi masyarakat di sekitar hutan dan taman nasional laut ini punya catatan penggusuran rakyat akibat implementasi hak pengusahaan hutan dan taman nasional laut. Mereka khawatir ketika HP3 dipraktikkan kelak, tragedi penggusuran rakyat dari hutan adat dan wilayah penangkapan ikan nelayan akan terulang kembali di perairan pesisir.

Selain itu, ada juga pendapat tengah dari akademisi, seperti Arief Satria dari IPB, yang mengakui bahwa di satu sisi ada justifikasi teoretis yang kuat terhadap HP3, tetapi di sisi lain mengkhawatirkan pemberian HP3 kepada badan usaha. Konsekuensi rezim hak adalah pemegang hak boleh mengalihkan haknya kepada pihak lain sehingga tidak tertutup kemungkinan HP3 masyarakat adat beralih ke badan usaha. Akibatnya, terbuka peluang akumulasi penguasaan perairan pesisir pada badan usaha tertentu. Agar terhindar dari sisi buruk ini, Arief mengusulkan pengusahaan perairan pesisir oleh badan usaha dikembalikan pada rezim perizinan, bukan HP3 (Kompas, 24 Agustus 2009).

Pro-kontra tersebut merupakan sebuah pertanda baik dalam proses produksi hukum. Momentumnya pun tepat karena pemerintah, melalui Departemen Kelautan dan Perikanan, sedang memfinalisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian, Pendaftaran, dan Pencabutan HP3. Proses ini diyakini akan berpengaruh positif terhadap substansi rancangan tersebut karena baik pandangan yang mendukung maupun yang menentang memiliki visi yang sama agar produk hukum yang dihasilkan melindungi masyarakat adat dan tidak menggusur nelayan. Visi seperti ini, sebetulnya, sejalan dengan tujuan ditetapkannya UU No 27/2007, yakni meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ada dua kata kunci yang menjadi latar belakang pro-kontra HP3, yakni pengaplingan laut dan penggusuran nelayan. Kedua hal tersebut sesungguhnya tidak tecermin, baik dalam UU No 27/2007 maupun dalam RPP HP3.
Zonasi laut

HP3 dalam pengertian UU No 27/2007 adalah ”hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu”. Definisi ini memang memberikan hak eksklusif kepada pemegang HP3 untuk mengusahakan perairan pesisir sesuai peruntukannya. Namun, terdapat sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi sebelum HP3 diberikan.
Pertama, wajib ada perda rencana zonasi provinsi/kabupaten/kota yang membagi perairan pesisir sejauh 12 mil menjadi empat kawasan, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan alur pelayaran, dan kawasan strategis nasional tertentu. HP3 hanya boleh diberikan pada kawasan pemanfaatan umum dan kawasan strategis nasional tertentu. Sebaliknya, HP3 dilarang dalam kawasan konservasi dan alur pelayaran.

Pada tingkat kabupaten/kota, kawasan pemanfaatan umum sudah harus dirinci ke dalam subzona, seperti subzona budidaya ikan, rumput laut, mutiara, atau wisata bahari. Rincian semacam ini, selain dimaksudkan agar alokasi ruang sesuai daya dukung sumber daya, juga untuk menghindari terjadinya konflik pemanfaatan. Kelak, sesuai dengan kondisi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, HP3 akan lebih banyak diberikan di wilayah yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

Kedua, sebelum dan setelah HP3 diberikan masih harus menaati persyaratan teknis, administratif, dan operasional. Secara teknis, HP3 harus sesuai dengan zona, besaran, dan volume pemanfaatan sesuai hasil konsultasi publik serta mempertimbangkan hasil pengujian, terutama bagi kegiatan yang berpotensi merusak sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara administratif, pengusul HP3 wajib menyusun dokumen perencanaan yang meyakinkan bahwa pemanfaatan sesuai dengan daya dukung sumber daya. Ketika tiba masanya HP3 diimplementasikan, pemegang HP3 wajib memberdayakan masyarakat sekitar, memberikan akses ke sempadan pantai atau muara sungai, serta merehabilitasi sumber daya yang rusak.
Jika akhirnya HP3 diberikan kepada masyarakat adat atau badan usaha, sejatinya merupakan implementasi rencana zonasi laut, bukan pengaplingan yang lebih berkonotasi monopolistik dan semata-mata berorientasi ekonomi. HP3, selain bertujuan ekonomi, juga sosial dan budaya sebagaimana tecermin dari tujuan UU No 27/2007 dan prasyarat pemberian HP3.

Pemda menginisiasi

HP3 juga dapat dipastikan tidak menggusur nelayan dari wilayah penangkapan ikannya. Demokratisasi proses produksi hukum, termasuk perda, akan memungkinkan seluruh segmen masyarakat untuk memengaruhi substansi kebijakan. Apalagi DKP, melalui Peraturan Menteri (Permen) No 16/2008 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Zonasi dan Permen No 8/2009 tentang Peran Serta Masyarakat, telah mengatur bahwa keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan rencana zonasi dan implementasinya sebagai sebuah keniscayaan. Tidak ada penyusunan rencana zonasi tanpa keterlibatan masyarakat.

Ketika pemda menginisiasi penyusunan rencana zonasi, langkah pertama yang harus ditempuh ialah membentuk tim yang mensyaratkan representasi masyarakat sebagai anggotanya. Selanjutnya, tim melakukan kajian ilmiah untuk mengukur kapasitas sumber daya dan menyerasikannya dengan pemanfaatan yang sedang berlangsung. Pada tahap ini, kepentingan nelayan terartikulasikan sehingga alokasi zona untuk nelayan akan terlindungi.

Perlindungan nelayan dan masyarakat adat tidak berhenti pada tahap perencanaan saja. Tatkala Perda Rencana Zonasi sudah ditetapkan, proses pemberian HP3 pun lagi-lagi memberikan perlindungan hukum kepada mereka.

Dalam RPP HP3, masyarakat adat, yang kenyataannya sebagian besar nelayan kecil, pemberian HP3 menempuh mekanisme ”pengakuan hak adat”, sedang bagi badan usaha dan perorangan melalui mekanisme ”pemberian hak”. Mekanisme yang demikian ini, selain memberikan kemudahan, juga penghargaan terhadap hak asal-usul masyarakat adat.

Kekhawatiran akan terjadinya monopoli HP3 oleh badan usaha melalui jalan peralihan hak juga sudah diantisipasi dalam RPP HP3. Bagi badan usaha dan perorangan ada pembatasan maksimum luas HP3, sedang bagi masyarakat adat disesuaikan dengan kondisi yang sudah berlangsung turun-temurun. Peralihan HP3 pun sangat terkontrol karena setiap peralihan HP3 wajib mendapat persetujuan pemerintah/pemda.

Sekalian penjelasan di atas memastikan bahwa HP3 bukan pengaplingan laut dan tidak menggusur nelayan. Sebaliknya, justru memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan nelayan kecil melebihi perlindungan yang telah diberikan oleh segenap produk hukum sepanjang sejarah Indonesia.

SUDIRMAN SAAD : Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan

Bangkok Climate Change Talks 2009

Catatan Bangkok II, 29 September 2009

Oleh: Abdul Halim

Pertama, di sela-sela keriuhan perundingan di Markas Besar UNESCAP, Bangkok, penulis menyempatkan diri berbincang dengan Bapak Armi Susandi, delegasi Indonesia yang berposisi sebagai wakil ketua Working Gorup on Adaptation. Dalam perbincangan itu, terlontar pertanyaan dari benak penulis perihal posisi Manado Ocean Declaration/MOD, apakah akan menjadi acuan tim negosiasi Indonesia dan apa wujud proposal yang akan diajukan?Mendengar pertanyaan ini, Bapak Armi menegaskan bahwa, “memang MOD akan menjadi acuan utama delegasi Indonesia dalam perundingan Bangkok kali ini, khususnya dalam skema adaptasi. Meski saat ini baru sebatas pandangan umum dari pelbagai delegasi negara-negara.
Ada kemungkinan, 3-4 hari ke depan akan ada pembahasan mengenai proposal Indonesia”. Membaca MOD, banyak hal perlu dikritisi menyangkut kejelasan konsep pendekatan terpadu pengelolaan sumber daya laut dan pesisir serta posisi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang tinggal di pulau-pulau kecil, dan sebagainya. Kedua hal ini, misalnya, belum diperjelas dalam gagasan dan konsepnya, baik dalam MOD maupun naskah negosiasi AWG-LCA. Sejauh ini, mereka hanya dilakonkan sebagai korban terentan, bukan subyek yang mampu mengelola keberlanjutan ekosistem laut dan pesisir dalam merespons dampak perubahan iklim.
Kedua, saat hendak kembali ke markas SEAFish di De' Moc Hotel, Bangkok, penulis dan Bapak Yuriun, Koordinator JKMA, bertemu dengan Bapak Riris Marhadi, Deputi Direktur Center for Administration of International Cooperation, Departemen Perindustrian sekaligus menjadi wakil dalam delegasi Indonesia. Dalam percakapan ini, beliau menyampaikan bahwa “butuh upaya ekstra untuk mendapat kesepakatan global di pertemuan Bangkok ini”. Ia mengungkapkan bahwa “negara-negara maju tidak mau membuka diri dan keukeuh pada sikapnya. Dalam soal teknologi transfer, misalnya, mereka tidak mau hanya diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus dibarengi oleh besaran biaya sebagai pengganti atas teknologi yang sudah ditransfer ke negara-negara berkembang”.
Ketiga, dari materi siaran pers yang disampaikan oleh International Indigenous Peoples Forum on Climate Change dapat disebutkan beberapa poin sebagai berikut:
(a) Partisipasi aktif dan efektif masyarakat adat, komunitas lokal, dan kelompok rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah kunci untuk mencapai keadilan iklim dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim. Olehnya, pengetahuan tradisional-adat; solidaritas internasional, penegakan HAM mutlak dibutuhkan dalam mengatasi dampak perubahan iklim;
(b) Mendesak dipatuhinya UNDRIP (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) sebagai solusi untuk memperkuat kapasitas dan resiliensi masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam merespons dampak perubahan iklim dan mengejawantahkannya dalam NAMAs (National Adaptation adn Mitigation Actions) dan NAPAs (National Adaptation Plans and Strategies of Actions);
(c) Kebebasan untuk menghayati tata adat dan FPIC (Free, Prior and Informed Consent) menjadi standar perlindungan minimal hak-hak masyarakat adat dari pelbagai kebijakan sektoral, mulai perencanaan hingga penyelesaian konflik; dan terakhir
(d) if there is no full recognition and full protection for indigenous peoples' rights, including the rights to resources, lands and territories, and there is no recognition and respect of our rights of free, prior and informed consent of the affected indigenous peoples, we will oppose REDD and REDD+ and carbon offsetting projects, including CDM projects. All decision making processes on REDD and REDD+, Clean Development Mechanism, Land Use and Land Use Change and Forests (LULUCF), Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU) as well as other ecosystem-based mitigation and adaptation measures and projects must be conditional to the free informed consent of indigenous peoples.
Dari pinggir Sungai New World City Hotel, demikian penulis sampaikan catatannya. Semoga memberi manfaat dan maslahat bagi kita semua.
Salam Keadilan Perikanan,
Abdul Halim+66 8078 460 40 (No Lokal Bangkok)
to be continued

Bangkok Climate Change Talks 2009

SUARA PEMBARUAN DAILY
Bangkok Climate Change Talks 2009

[BANGKOK] Perhelatan dialog internasional bertajuk Bangkok Climate Change Talks 2009 dihadiri oleh representasi negara-negara yang tergabung dalam UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Tak terbatas pada perwakilan pemerintah dan ilmuwan, para aktivis lintas isu dan negara juga turut hadir dalam pertemuan global yang digelar mulai 28 September-9 Oktober 2009 di Markas Besar United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP), Rajdamnern Nok Avenue, Bangkok, Thailand."
Dalam perhelatan ini, akan dibahas draf naskah kesepakatan global dalam mengatasi dampak perubahan iklim sebelum COP (Conference of the Parties) 15 di Kopenhagen, Denmark, Desember mendatang," kata Abdul Halim, Koordinator ProgramKoalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), di sela-sela International Indigineous Peoples Forum on Climate Change Prepatory Meeting yang diselenggarakan oleh Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) di Bangkok, 26-27 September 2009.
Dikatakan, pada naskah negosiasi yang telah direvisi oleh Ad Hoc Working Group on Long Cooperative Action (AWG-LCA), setidaknya ditemukan sedikitnya 10 pasal yang membahas perubahan iklim dalam konteks kelautan, pesisir, pulau-pulau kecil, masyarakat nelayan, pesisir, dan adat. Demikian juga menyangkut bahan bakar kapal, konservasi, dan restorasi."Munculnya kesadaran memerkarakan persoalan perubahan iklim dalam konteks kelautan melalui UNFCCC patut disyukuri. Akan tetapi, banyak hal perlu dikritisi demi pemenuhan dan perlindungan hak-hak konstitusi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir oleh komunitas global dalam menghadapi dampak buruk perubahan iklim," katanya.
Satu hal utama yang mesti diubah adalah keterbatasan pemahaman para delegasi yang menempatkan nelayan tradisional hanya semata sebagai korban, sekaligus luput memberikan apresiasi dan perlindungan atas berbagai inisiatif komunitas nelayan yang lestari, sekaligus minim karbon. "Sejak abad ke-5 Masehi, mereka telah mempraktikkan pola kearifan tradisional dalam mengelola sumber daya laut dan pesisir, serta mampu menjaga keberlanjutan ekosistem laut," jelasnyaAwal 2009 lalu, FAO menyebutkan dalam laporannya, 24.000 nelayan meninggal di laut.
Dalam laporan Panel Internasional untuk Perubahan Iklim ke-IV (IPCC, 2007), disebutkan, pertama, pemanasan global telah berdampak pada naiknya permukaan air laut, rata-rata 2,4 mm sampai dengan 3,8 mm per tahun (1993-2003).Kedua, wilayah pesisir amatlah rentan terhadap perubahan iklim, dengan risiko erosi dan tenggelamnya pulau-pulau kecil seiring kenaikan permukaan air laut. "Berkaca pada naskah AWG-LCA yang telah direvisi, tampak bahwa persoalan aktual menyangkut problem mendasar yang dihadapi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir tak hendak diselesaikan dalam perundingan perubahan iklim, tak terkecuali dalam Bangkok Climate Change Talks 2009 ini. [S-26]

Bangkok Climate Change Talks 2009 Bangkok Thailand

Bangkok Climate Change Talks 2009Bangkok, Thailand
JPKP BUTON adalah salah satu anggota KIARA atau Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan yang merupakan jaringan di tingkat nasional dan berkedudukan di Jakarta, sejak tanggal 28 September 2009 - 5 Oktober 2005, kawan - kawan KIARA dan beberapa LSM Indonesia ikut dalam pertemuan Bangkok Climate Change Talks 2009Bangkok, Thailand
Berikut ini, beberapa informasi penting yang perlu juga disebarluaskan oleh kita yang di ambil oleh administrator Blog JPKP BUTON melalui milis jaya bahari groups. grup google, yang di kirimkan oleh Kawan GIORGIO BUDI INDRARTO dan Kawan HALIM langsung dari Bangkok, Thailand.

Kawan-kawan yang budiman,
Hari pertama di Bangkok ditemani suasana mendung yang lumayan membuat mata malas terbuka. Ok langsung ke substansi, hari ini Saya, Teguh, dan Steny mengikuti pertemuan Accra caucus. Karena saya mewakili CSF yang diundang untuk bergabung bersama Accra Caucus. Kaukus tersebut merupakan suatu kelompok NGO yang terdiri dari NGO negara berkembang yang memfokuskan pada isu REDD. Pada pertemuan ini forum ini mulai dengan membicarakan Up-date dari hasil negosiasi untuk REDD dari pertemuan Bonn 3 yang lalu. Banyak isu yang berkembang dan menambah panjang daftar perdebatan. Isu mengenai REDD, REDD +, REDD ++, sampai REDD+++ mengemuka dalam putaran negosiasi di Bonn beberapa waktu yang lalu.
Untuk Pertemuan bangkok, maka pembicaraan tentang REDD akan mulai membahas mengenai teks negosiasi (khusus REDD) yang sudah di "peras" oleh suatu tim yang berada di bawah AWG LCA. Tim ini memang bertugas untuk meringkas text AWG LCA (terkait REDD) kedalam teks yang lebih "bersahabat" (dari sisi kuantitas bukan kualitas/ substansi dari teks, kualitasnya tetap saja perlu diwaspadai). Forum ini selain melakukan Up-date mengenai kondisi terkini, maka juga melakukan pembahasan dari teks atas REDD dan juga key messages yang akan menjadi prinsip dasar dari accra kaukus.
Dari pembahasan teks, ternyata terdapat beberapa hal yang perlu untuk diwaspadai, khususnya dari sisi hak masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Selain itu dalam teks negosiasi, istilah REDD sudah ditambahkan "REDD plus" dan penambahan tersebut tanpa bracket (kurung). Yang mungkin kawan-kawan pasti mengetahui bahwa artinya ketika teks tidak berada dalam bracket, maka teks tersebut bukan menjadi pilihan (tidak menjadi perdebatan) atau dengan kata lain negara para pihak sudah menerimanya secara tidak langsung. Namun hal ini juga masih diragukan, karena memang diketahui beberapa negara masih mendiskusikan mengenai REDD plus ini.
Mengenai beberapa pesan kunci yang akan menjadi pegangan dari accra caucus dalam melihat REDD maka dibagi tim kecil untuk secara spesifik membicarakan hal ini. Tim Indonesia juga akan terlibat dalam tim ini yang akan di pimpin langsung oleh bapak Bernardinus Steny sebagai salah satu fasilitator dari tim kecil.
Karena saya berada di luar compound, Halim menuliskan laporannya atas pertemuan hari ini yang bergulir di dalam UN Compound. berikut ini adalah laporan dari saudara Halim

Bangkok Climate Change Talks 2009Bangkok, Thailand28 September 2009
High Level Opening Ceremony
List of Speakers :
Mr. Yvo de Boer, Executive Secretary UNFCCC
Ms. Noeleen Heyzer, Under-Secretary-General andExecutive Secretary, UNESCAP
Mr. Suwit Khunkitti, Minister of Natural Resources and Environment of Thailand
H.E. Ms. Connie Hedegaard,Minister of Climate and Energy of Denmark
H.E. Mr. Abhisit Vejjajiva, Prime Minister of the Kingdom of Thailand
Minutes of Opening Ceremony
Saat konferensi pers di Bangkok, Sekretaris Eksekutif Yvo de Boer menjelaskan bahwa kinerja Tim Ad hoc Working Group on Long-Term Cooperative Action under the Convention, dan Working Group on further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol adalah bagaimana kedua proses yang akan dijalani nanti mampu merumuskan tujuan-tujuan yang akan dicapai di masa mendatang.
Kerja-kerja ini mencakup “upaya mendefinisikan besarnya ambisi negara-negara industri untuk merealisasikan komitmennya dalam menurunkan emisi sebagaimana halnya negara-negara berkembang dapat mengambil langkah konkret, terukur, dan pendanaan yang dapat dipastikan. Hal ini juga difokuskan pada bagaimana indikator-indikator adaptasi dapat diukur di masa mendatang,” sebut Boer.
Tahapan aksi ke depan adalah mencapai sebuah kesepakatan menyangkut perubahan iklim dalam Konferensi Perubahan Iklim di bawah PBB di Kopenhagen, Desember 2009 nanti. Sebab, tambah Boer, saat itulah akan coba disepakati pakta kesepahaman internasional yang baru dalam sejarah umat manusia pasca Protokol Kyoto. Kita berharap seluruh proses yang akan terjadi mengarah ke sana.
Menyinggung soal target reduksi emisi, Boer mengatakan bahwa itulah tantangan menariknya. Sebab, dalam forum itu akan coba disepakati perjanjian baru pasca Protokol Kyoto di tahun 2012. Pertanyaan menarik lainnya adalah bagaimana negara-negara maju konsisten menurunkan emisi GRK mereka hingga tahun 2020. Meski demikian, Boer menggarisbawahi bahwa dalam Bangkok Climate Change Talks 2009 ini para delegasi tidak akan mendiskusikan soal target reduksi emisi.
Pembicaraan mengenai hal itu akan dilakukan pada perundingan berikutnya. Sebetulnya, negara-negara kaya amat ingin mengetahui target reduksi emisi yang akan disepakati sebelum mereka berkomitmen dalam angka-angka tertentu. Karena itulah, mengapa tim Working Group on further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol menginisiasi perangkat-perangkat ilmiah untuk mencapai target reduksi emisi, baik di tingkat nasional, regional maupun kerjasama internasional.
Opening of the Session AWG-LCA
Agenda
Enabling the full, effective and sustained implementation of the Convention through long-term cooperative action now, up to and beyond 20121.A shared vision for long-term cooperative action2.Enhanced national/international action on mitigation of climate change 3.Enhanced action on adaptation 4.Enhanced action on technology development and transfer to support action on mitigation and adaptation 5.Enhanced action on the provision of financial resources and investment to support action on mitigation and adaptation and technology cooperationDalam pembukaan pertemuan AWG-LCA ini, Koordinator negosiasi teks AWG-LCA membacakan seluruh usulan dari pelbagai negara. Dokumen bisa diperoleh melalui http://unfccc.int/documentation/documents/advanced_search/items/3594.php?rec=j&priref=600005448#beg
Dari uraian Koordinator negosiasi, beberapa pihak menyampaikan pandangannya terkait dengan pelbagai usulan yang ada. Pertama, delegasi Sudan menyatakan bahwa apa yang diusulkan oleh G-77 dan Cina terkait perubahan iklim adalah hal yang paling konkret untuk disepakati dalam pertemuan ini. Senada dengan Sudan, delegasi Algeria juga mengatakan hal yang sama. Selepas itu, menarik mendengar pandangan delegasi Bangladesh yang mewakili Aliansi Negara Pulau-Pulau Kecil. Dalam pandangannya, disampaikan bahwa negara-negara yang notabene hidup di pulau-pulau kecil memiliki kerentanan yang amat besar. Olehnya, dibutuhkan kesediaan para pihak, khususnya negara-negara maju untuk konsisten menurunkan emisinya. Hal lain yang juga menarik adalah saat Bangladesh menyinggung ambisi Jepang dalam menurunkan emisinya hingga 11-18% dalam waktu dekat.

Dikirim oleh : Giorgio Budi Indrarto

Rabu, 02 September 2009

SUSAHNYA MENJADI NELAYAN


SUSAHNYA JADI NELAYAN TERIPANG ( sea cucumber )



Di Muna, tepatnya di sebuah desa bernama desa Oempu kecamatan Tongkuno, merupakan desa nelayan. Diantara antara nelayan-nelayan itu, sedikit orang mengkhususkan diri jadi penangkap teripang. Salah satunya adalah La Remi. Sudah 20 tahun menurut La Remi, ia jadi penangkap teripang. “ waktu itu, sekilo teripang masih seribu rupiah,” katanya.

Kehidupan La Remi sebagai penangkap teripang bukannya tanpa ujian.Selama 20 tahun menjadi nelayan tradisional, pendapatannya dari menangkap teripang tidaklah seberapa kalau di bandingkan dengan para nelayan lain di desanya yang telah menggunakan mesin untuk menangkap teripang atau ikan.

Sekali turun melaut, terkadang ia hanya mampu mengumpulkan sebanyak 1 kilo teripang padahal teripang sekilo itu di dapatnya dengan seharian penuh menyelam di dasar laut tanpa menggunakan alat Bantu apapun juga selain kacamata selam. Belum lagi, ketersediaan teripang di perairan pesisir desa Oempu semakin sedikit dikarenakan masih adanya kebiasaan masyarakat desa yang juga mengambil anakan teripang untuk langsung di olah dan dijual. Disisi lain, terdapat juga orang-orang yang mempunyai modal besar yang melakukan budidaya teripang sehingga semakin membuat kelangsungan sumber penghidupan La Remi semakin terancam.

Sejak tahun 2006, JPKP BUTON melalui Program Building Opportunity dari Oxfam Great Britain bekerjasama dengan European Commission telah membantu kesulitan La Remi dan sebagian masyarakat nelayan tradisional di desa Oempu untuk keluar dari garis kemiskinan melalui bantuan pendanaan dan peralatan untuk melakukan kegiatan usaha produktif. Salah satu kegiatan tersebut adalah pembesaran teripang yang di lakukan oleh La Remi dan kelompoknya.

Di tengah banyaknya masalah yang dihadapi oleh La Remi, ia tetap optimis bisa hidup dari pekerjaannya sebagai nelayan tradisional penangkap teripang. “ Memang hidup keluarga kami harus terseok-seok, tapi sesungguhnya kemiskinan yang kami alami bukanlah kemauan kami tapi oleh karena ini semua terjadi diakibatkan belum berpihaknya kebijakan pemerintah dalam membantu orang-orang miskin seperti kami “ Sambil menatap ke langit La Remi dengan pandangan kosong menyuarakan isi hatinya. “ Kalau bukan JPKP BUTON yang membantu nelayan disini termasuk saya, mungkin kehidupan kami tidak pernah berubah, sejak masuknyaJPKP BUTON, saya sudah bisa menyekolahkan anak saya sampai di perguruan tinggi di Bau-Bau. Ini, tetangga saya juga di Bantu JPKP BUTON melalui program B.O, dia Janda Malaysia karena suaminya merantau di sana, dulu kasian jualannya hanya kue saja dengan modal 50 ribu, sekarang jualannya sudah macam-macam karena di Bantu modal 500 ribu dari JPKP, tutur La Remi menceritakan perubahan yang terjadi sebagai dampak dari pendampingan yang dilakukan oleh JPKP BUTON melalui LSM anggotanya yaitu LSM YAMANSIDA ( by Tim BO Project )

PADANG LAMUN

Padang Lamun Hilang, Masa Depan Ekosistem Pesisir Global Terancam

Oleh : Marwan Azis 20/07/2009 03:56 a.m.

Sebuah Tim Peneliti Internasional, memperingatkan bahwa cepatnya penurunan ekosistem padang lamun (seagrass) di seluruh bagian dunia akan mengancam keberadaan jangka panjang dari ekosistem pesisir. Hasil analisis dan temuan ini menunjukkan bahwa 58% ekosistem padang lamun dunia terus mengalami penurunan.Hasil assesment yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences, menunjukkan bahwa kecepatan penurunan padang lamun meningkat menjadi 7% sejak 1990-sebelumnya 1% sebelum tahun 1940-.
Berdasarkan 215 studi dan 1.800 pengamatan mulai 1879, tampak bahwa tingkat kehilangan populasi lamun sama dengan tingkat penurunan terumbu karang dan hutan hujan tropis. Hasil studi ini menyebutkan tingkat kehilangan lamun ini sebesar 42 kilometer persegi per tahun sejak 1980, dan menekankan juga penyebab utama degradasi ini ialah dampak langsung pembangunan pesisir, dan dampak tidak langsung dari penurunan kualitas air."Tingginya frekuensi “sindrom pesisir” telah menyebabkan hilangnya ekosistem lamun di seluruh dunia, ” jelas Dr.Willliam Dennison dari University of Maryland Center for Environmental Science seperti dilansir Science Daily. ”Kombinasi antara pertumbuhan pemukiman, pengembangan di sepanjang garis pantai, dan penurunan sumberdaya alamiah telah menekan ekosistem pesisi kepada kondisi tidak seimbang.
Secara global, setiap 30 menit kita kehilangan padang amun seluas lapangan sepak bola,"tambahnya. Hilangnya setiap luasan ini tentunya berakibat hilangnya pula fungsi dan manfaat dari ekosistem ini, seperti menyediakan lokasi pemijahan bagi berbagai jenis ikan dan kekerangan. Bahkan lebih dari itu, konsekuensi yang ditimbulkan bahkan berpengaruh pada ekosistem disekitarnya, karena lamun juga merupakan penghasil biomassa energi serta berbagai jenis satwa ke ekosistem terumbu karang. Dengan 45% populasi dunia yang hidup di 5% daratan di pesisir, tekanan yang diterima ekosistem padang lamun semakin intensif.”kata Dr. Tim Carruthers dari University of Maryland Center for Environmental Science.
Keberadaan lamun sangat mempengaruhi kondisi fisik,kimia dan biologi lingkungan dari perairan pesisir. Komposisi unik dari tumbuhan semi pasang surut ini, mentransisikan aliran air dan dapat membantu mitigasi dampak dari masukan polusi dari nutrien dan sedimen. Dalam suatu lingkungan pesisir yang lengkap, ekosistem padang lamun berada di antara ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang. Penelitian ini sendiri merupakan bagian dari Global Seagrass Trajectories Working Group yang didukung oleh National Center for Ecological Analysis and Synthesis (NCEAS) di Santa Barbara, California, dibawah National Science Foundation.

Sumber : http://www.beritalingkungan.com/berita/2009-07/padang-lamun-hilang-masa-depan-ekosistem-pesisir-g/