Rabu, 30 September 2009

Mengkapling Laut Menggusur Nelayan


HAK ASASI
Mengapling Laut Menggusur Nelayan?
Sabtu, 12 September 2009 05:01 WIB
SUDIRMAN SAAD

Hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) disayang, tetapi juga ditentang. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN mendesak pemerintah agar segera melaksanakan UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Bagi mereka, UU tersebut melindungi kepentingan masyarakat adat karena mengakui hak masyarakat adat atas perairan pesisir sebagai HP3 (Deklarasi Sinar Resmi, Sukabumi, 8 Agustus 2009). Sebaliknya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) justru meminta agar UU No 27/2007 dicabut karena mengapling laut dan menggusur nelayan (Kompas, 21 Agustus 2009).

Bagi AMAN, desakannya tersebut sangat masuk akal, mengingat sejak awal sudah terlibat dalam proses perumusan UU No 27/2007. Mereka mengalami pasang surut perdebatan substansi UU, bahkan memelopori agar eksistensi masyarakat adat diakui. Proses itu berlangsung sepanjang tujuh tahun sejak 2000 hingga 2007. Desakan AMAN akhirnya memang diakui dalam UU tersebut sehingga berkepentingan terhadap pelaksanaannya sesegera mungkin.

Berbeda halnya dengan KIARA. Koalisi LSM yang memiliki pengalaman dalam mengadvokasi masyarakat di sekitar hutan dan taman nasional laut ini punya catatan penggusuran rakyat akibat implementasi hak pengusahaan hutan dan taman nasional laut. Mereka khawatir ketika HP3 dipraktikkan kelak, tragedi penggusuran rakyat dari hutan adat dan wilayah penangkapan ikan nelayan akan terulang kembali di perairan pesisir.

Selain itu, ada juga pendapat tengah dari akademisi, seperti Arief Satria dari IPB, yang mengakui bahwa di satu sisi ada justifikasi teoretis yang kuat terhadap HP3, tetapi di sisi lain mengkhawatirkan pemberian HP3 kepada badan usaha. Konsekuensi rezim hak adalah pemegang hak boleh mengalihkan haknya kepada pihak lain sehingga tidak tertutup kemungkinan HP3 masyarakat adat beralih ke badan usaha. Akibatnya, terbuka peluang akumulasi penguasaan perairan pesisir pada badan usaha tertentu. Agar terhindar dari sisi buruk ini, Arief mengusulkan pengusahaan perairan pesisir oleh badan usaha dikembalikan pada rezim perizinan, bukan HP3 (Kompas, 24 Agustus 2009).

Pro-kontra tersebut merupakan sebuah pertanda baik dalam proses produksi hukum. Momentumnya pun tepat karena pemerintah, melalui Departemen Kelautan dan Perikanan, sedang memfinalisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian, Pendaftaran, dan Pencabutan HP3. Proses ini diyakini akan berpengaruh positif terhadap substansi rancangan tersebut karena baik pandangan yang mendukung maupun yang menentang memiliki visi yang sama agar produk hukum yang dihasilkan melindungi masyarakat adat dan tidak menggusur nelayan. Visi seperti ini, sebetulnya, sejalan dengan tujuan ditetapkannya UU No 27/2007, yakni meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ada dua kata kunci yang menjadi latar belakang pro-kontra HP3, yakni pengaplingan laut dan penggusuran nelayan. Kedua hal tersebut sesungguhnya tidak tecermin, baik dalam UU No 27/2007 maupun dalam RPP HP3.
Zonasi laut

HP3 dalam pengertian UU No 27/2007 adalah ”hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu”. Definisi ini memang memberikan hak eksklusif kepada pemegang HP3 untuk mengusahakan perairan pesisir sesuai peruntukannya. Namun, terdapat sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi sebelum HP3 diberikan.
Pertama, wajib ada perda rencana zonasi provinsi/kabupaten/kota yang membagi perairan pesisir sejauh 12 mil menjadi empat kawasan, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan alur pelayaran, dan kawasan strategis nasional tertentu. HP3 hanya boleh diberikan pada kawasan pemanfaatan umum dan kawasan strategis nasional tertentu. Sebaliknya, HP3 dilarang dalam kawasan konservasi dan alur pelayaran.

Pada tingkat kabupaten/kota, kawasan pemanfaatan umum sudah harus dirinci ke dalam subzona, seperti subzona budidaya ikan, rumput laut, mutiara, atau wisata bahari. Rincian semacam ini, selain dimaksudkan agar alokasi ruang sesuai daya dukung sumber daya, juga untuk menghindari terjadinya konflik pemanfaatan. Kelak, sesuai dengan kondisi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, HP3 akan lebih banyak diberikan di wilayah yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

Kedua, sebelum dan setelah HP3 diberikan masih harus menaati persyaratan teknis, administratif, dan operasional. Secara teknis, HP3 harus sesuai dengan zona, besaran, dan volume pemanfaatan sesuai hasil konsultasi publik serta mempertimbangkan hasil pengujian, terutama bagi kegiatan yang berpotensi merusak sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara administratif, pengusul HP3 wajib menyusun dokumen perencanaan yang meyakinkan bahwa pemanfaatan sesuai dengan daya dukung sumber daya. Ketika tiba masanya HP3 diimplementasikan, pemegang HP3 wajib memberdayakan masyarakat sekitar, memberikan akses ke sempadan pantai atau muara sungai, serta merehabilitasi sumber daya yang rusak.
Jika akhirnya HP3 diberikan kepada masyarakat adat atau badan usaha, sejatinya merupakan implementasi rencana zonasi laut, bukan pengaplingan yang lebih berkonotasi monopolistik dan semata-mata berorientasi ekonomi. HP3, selain bertujuan ekonomi, juga sosial dan budaya sebagaimana tecermin dari tujuan UU No 27/2007 dan prasyarat pemberian HP3.

Pemda menginisiasi

HP3 juga dapat dipastikan tidak menggusur nelayan dari wilayah penangkapan ikannya. Demokratisasi proses produksi hukum, termasuk perda, akan memungkinkan seluruh segmen masyarakat untuk memengaruhi substansi kebijakan. Apalagi DKP, melalui Peraturan Menteri (Permen) No 16/2008 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Zonasi dan Permen No 8/2009 tentang Peran Serta Masyarakat, telah mengatur bahwa keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan rencana zonasi dan implementasinya sebagai sebuah keniscayaan. Tidak ada penyusunan rencana zonasi tanpa keterlibatan masyarakat.

Ketika pemda menginisiasi penyusunan rencana zonasi, langkah pertama yang harus ditempuh ialah membentuk tim yang mensyaratkan representasi masyarakat sebagai anggotanya. Selanjutnya, tim melakukan kajian ilmiah untuk mengukur kapasitas sumber daya dan menyerasikannya dengan pemanfaatan yang sedang berlangsung. Pada tahap ini, kepentingan nelayan terartikulasikan sehingga alokasi zona untuk nelayan akan terlindungi.

Perlindungan nelayan dan masyarakat adat tidak berhenti pada tahap perencanaan saja. Tatkala Perda Rencana Zonasi sudah ditetapkan, proses pemberian HP3 pun lagi-lagi memberikan perlindungan hukum kepada mereka.

Dalam RPP HP3, masyarakat adat, yang kenyataannya sebagian besar nelayan kecil, pemberian HP3 menempuh mekanisme ”pengakuan hak adat”, sedang bagi badan usaha dan perorangan melalui mekanisme ”pemberian hak”. Mekanisme yang demikian ini, selain memberikan kemudahan, juga penghargaan terhadap hak asal-usul masyarakat adat.

Kekhawatiran akan terjadinya monopoli HP3 oleh badan usaha melalui jalan peralihan hak juga sudah diantisipasi dalam RPP HP3. Bagi badan usaha dan perorangan ada pembatasan maksimum luas HP3, sedang bagi masyarakat adat disesuaikan dengan kondisi yang sudah berlangsung turun-temurun. Peralihan HP3 pun sangat terkontrol karena setiap peralihan HP3 wajib mendapat persetujuan pemerintah/pemda.

Sekalian penjelasan di atas memastikan bahwa HP3 bukan pengaplingan laut dan tidak menggusur nelayan. Sebaliknya, justru memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan nelayan kecil melebihi perlindungan yang telah diberikan oleh segenap produk hukum sepanjang sejarah Indonesia.

SUDIRMAN SAAD : Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar