Kamis, 09 Juli 2009

MEMPERTEGAS KELAUTAN KITA

Pada 10 Juli 2009 11:49, Midaria Novawanty mnovawanty@gmail.com

MEMPERTEGAS KELAUTAN KITA
Catatan Kritis Atas Reforma Agraria di Sektor Kelautan dan Perikanan
Oleh : Midaria Novawanty

Mukadimah

Semasa rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998), agenda reforma agrariaditafsirkan sebatas menjadikan tanah dan sumberdaya alam lainnyasebagai komoditas dan obyek eksploitasi semata. Dalam pada itu,partisipasi rakyat dipinggirkan. Tak ada akses untuk sekadarmemperpanjang nafas hidup. Singkatnya, rakyat dipaksa mandiri untukmemenuhi kebutuhan dasarnya. Ironisnya, paksaan ini menempatkan rakyatharus berhadapan dengan birokrasi yang koruptif dan pemodal yangmenghalalkan pelbagai cara untuk merengkuh tujuannya.Pada pembuka tahun 2007, tersiar dua kabar penting menyangkutkebijakan agraria nasional, yakni dibatalkannya rencana perubahanUndang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-PokokAgraria (UUPA), dan dicetuskannya rencana pelaksanaan reforma agrariapada pidato awal tahun 2007 oleh Presiden RI.Tak pelak, dua kabar gembira ini memberi angin segar bagi perwujudancita-cita bangsa, yakni mengejawantahkan masyarakat yang sejahtera,berkeadilan, dan berkeadaban. Bagi rakyat, tanah dan sumberdaya alamlainnya merupakan faktor kehidupan yang teramat penting. Tak hanyasebagai ruang produksi, tanah dan sumberdaya alam lainnya jugamengandung makna politik, sosial, budaya, dan religius. Dalam ruangitulah, mereka menambatkan cita-cita kehidupannya dan sebisa mungkinmemberi sumbangsih bagi kemajuan negeri.
Tulisan ini hendak memotret relevansi reforma agraria di sektorkelautan dan perikanan, memberi catatan kritis atas kesalahan rezim dimasa lampau dan masa kini terkait agenda reforma agraria, dan usulansolusi yang bisa diacu sebagai panduan pelaksanaan reforma agraria disektor kelautan dan perikanan.
Relevansi reforma agraria
Pelaksanaan reforma agraria merupakan cita-cita bangsa Indonesia yangtelah lama dikumandangkan sejak awal pendirian bangsa. Sebagaimanadiamanahkan oleh Soekarno pada HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,17 Agustus 1960:"Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidakuntuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk gendutkarena menghisap keringatnya orang-orang yang diserahi menggarap tanahitu. Jangan mengira 'land-reform' yang kita hendak laksanakan adalahkomunis! Hak milik atas tanah masih kita akui! Orang masih boleh punyatanah turun-temurun. Hanya luasnya milik itu diatur baik maksimumnyamaupun minimumnya, dan hak milik tanah itu kita nyatakan berfungsisosial, dan negara dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum memilikikekuasaan yang lebih tinggi daripada hak milik perseorangan".
Apa yang disampaikan oleh Soekarno merupakan perpanjangan dari idedasar pelaksanaan reforma agraria, yakni mewujudkan keadilan agraria.Perwujudan keadilan agraria ini ditopang oleh 3 (tiga) prinsip pokok,yakni (1) hak rakyat untuk berkembang dan menentukan arahperkembangannya; (2) hukum agraria bersifat kerakyatan dan memihakkaum marginal; dan (3) hukum agraria menganut asas kebangsaan denganmenghormati keragaman budaya yang termuat dalam hukum-hukum adat.Ketiga prinsip inilah yang menjadi pedoman relevansi pelaksanaanreforma agraria di Indonesia.
Ditambah lagi, Deklarasi Djoeanda 1957 tegas menyebutkan bahwa"pembangunan Indonesia harus berorientasi pada aspek kelautan denganmemperhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pelbagai pulau". Pundengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa"sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dipandang sebagai kesatuankewilayahan yang harus diperuntukkan bagi sebesar-besar kemakmuranrakyat".
Potret krisis kelautan
Diterbitkannya UU No. 27 Tahun 2007 oleh DPR RI ini tak hanyabertolak-belakang dengan rencana pelaksanaan reforma agraria, tetapijuga mengulang kesalahan fatal rezim Orde Baru. Bentuk kesalahan ituadalah pemberian izin kepada pemodal untuk mengeruk-habis sumberdayalaut dan pesisir melalui hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) denganmeminggirkan hak-hak konstitusi nelayan tradisional dan masyarakatyang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Belajar dari pengalaman rezim Orde Baru, kesalahan fatal dalamkebijakan pengelolaan sumber-sumber agraria terpola dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
(1) kebijakan sarat eksploitasi dan (2)kebijakan bersifat sektoral dalam penguasaan, penggunaan, danpengelolaan tanah dan sumberdaya alam lainnya guna mengejar efisiensiekonomi; (3) kerap memakai pendekatan top-down dan sentralistik; (4)sarat konflik kepentingan antara institusi dan pemodal; (5) prinsipdiskriminasi lebih mengedepan; dan (6) menyulut aparatur negaraberlaku represif dan melanggar HAM.
Pelanggaran HAM terkait reforma agraria tak hanya berdampak padadegradasi lingkungan hidup, melainkan juga telah menyub-ordinasimanusia (baca: rakyat) tak lebih sebagai obyek pembangunan. Prosesdehumanisasi ini berkait-kelindan dengan minusnya visi pembangunanbangsa Indonesia yang berjangkar pada kodratnya, yakni negerikepulauan. Alhasil, orientasi pembangunannya berjalan melambat danamburadul. Masyhur sebagai negeri kepulauan dengan luas wilayah perairan 5,8juta km2, luas daratan hanya 1,9 juta km2, dan memiliki 17.508 pulaubesar dan kecil, serta panjang pantai seluas 81.000 km2, Indonesiadihadapkan pada tiadanya visi kelautan yang menjadi rujukan pokokpembangunan. Terlebih, pembangunan yang berlangsung hingga detik initerlampau berwatak daratan (land-based).
Dari deskripsi di atas, dapat diperoleh pemahaman bahwa reformaagraria di sektor kelautan dan perikanan tak bisa dilepaskan dari tigaaspek pokok pembangunan. Pertama, aspek politik. Dalam lanskappolitik, hak konstitusi yang mesti diberikan adalah perluasanpartisipasi aktif masyarakat dalam merumuskan kebijakan di tingkatlokal, khususnya menyangkut rencana pelaksanaan reforma agraria.Dengan perkataan lain, kebijakan yang dilahirkan bukan didasarkan padasemangat sentralistik, melainkan desentralistik.Kedua, aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Dalam konteks ini, nelayantradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus diberikan hak untuk mengelola sumberdaya alam sesuaidengan kebutuhan dasar dan kearifan lokal yang mereka hayati, bukandikte pemerintah pusat.Dengan demikian, rencana pelaksanaan reforma agraria di sektorkelautan dan perikanan haruslah memperhitungkan keberadaan nelayantradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai subyek pembangunan, bukan malah meniadakan hak-hakkonstitusi mendasar yang semestinya harus dipenuhi oleh negara (baca:pemerintah), seperti tecermin pada substansi UU No. 27 Tahun 2007tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sertaPerMen No. 06 Tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan IkanPukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara.
Penutup
Dengan memperhatikan karakteristik negara kepulauan, reforma agrariadi sektor kelautan dan perikanan harus mampu mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh nelayan tradisional danmasyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecilakibat visi pembangunan yang sekadar memandang laut sebagai "lahanbuangan," bukan sebagai ruang hidup dan ruang juang segenap anakbangsa. Tumpulnya visi pembangunan kelautan berdampak pada: (a) hilangnyaakses masyarakat terhadap tanah dan sumber daya alam lainnya; (b)penurunan kualitas sumber daya manusia; (c) struktur sosial, budaya,ekonomi, dan politik yang kian jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaandan budaya bangsa Indonesia; serta (d) kerusakan lingkungan hidup danhancurnya sumber-sumber daya alam lainnya. Tak ayal, pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan danperikanan haruslah memperhatikan karakteristik wilayah dan pelbagaidimensi kehidupan yang mengitari keseharian nelayan tradisional danmasyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecilIndonesia. Terlebih konsepsi sebagai negeri kepulauan telah mengakar danbersifat final. Salah satu cirinya adalah melimpahnya budaya bahariyang melekat pada jati diri dan sistem sosial kemasyarakatan bangsaIndonesia. Di pelbagai kepustakaan, kita mengenal ponggawa laut2(Sulawesi Selatan), bapongka3 (Sulawesi Tengah), dan sasi4 (MalukuTengah) sebagai bentuk-bentuk kearifan tradisional yang arif terhadapsumber daya laut dan perikanan nasional. Pun terhadap keberlanjutanekologis. Pada konteks ini, ada keterkaitan relasi sosio-ekologisantara manusia dan sumber daya laut dan perikanan. Akhirnya, dukungan Indonesia atas United Nation Declaration on theRights of Indigenous Peoples (UNDRIP) pada tanggal 13 September 2007lalu adalah bentuk penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakatadat di Indonesia, termasuk di dalamnya nelayan tradisional danmasyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.Mengacu pada sumber historis ini, selaiknya rencana pelaksanaanreforma agraria di sektor kelautan dan perikanan mengikutsertakankearifan tradisional yang telah berurat-akar dan menyatu dalam jatidiri Keindonesiaan, bukan malah meminggirkan masyarakat adat melaluiHak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dan pelegalan kembali trawl.
Saatnya Indonesia melaut!--
M.Riza Damanik
Secretary General of KIARA (Fisheries Justice Coalition)
Address. Jl. Tegal Parang Utara No. 43 Pancoran, Jakarta SelatanINDONESIA 12790

PENGELOLAAN PESISIR BUTON










Pemetaan masalah pengelolaan pesisir Buton (gbr atas) Nelayan desa batu banawa sedang panen kerang mutiara(gbr bawah)
PERAN, FUNGSI DAN PERMASALAHAN DALAM PENGELOLAAN PESISIR BUTON

Oleh : Arman Manila Nuhu

U M U M

Tidak bisa dipungkiri bahwa perairan Buton memiliki potensi sumberdaya hayati perairan yang kaya dan melimpah. Potensi-potensi tersebut terdiri dari perikanan tangkap (ikan pelagis, demersal ataupun ikan karang) dan potensi budidaya laut (mariculture) seperti rumput laut, ikan kerapu, kerang mabe dan lain-lain. Hal tersebut tidak terlepas dari letak strategisnya yang termasuk dalam wilayah zoogeografi Wallacea sehingga memiliki keanekaragaman hayati terumbu karang yang tinggi, disamping keberadaan ekosistem khas tropik lainnya seperti hutan mangrove dan padang lamun yang berperan besar dalam ‘menyuplai’ sumberdaya ekonomis penting.

Yang ironis adalah bahwa masyarakat pesisir yang notabene merupakan penduduk mayoritas daerah ini, sebagian besar masih menyandang ‘status’ miskin dan marginal. Padahal secara logika seharusnya mereka hidup lebih sejahtera mengingat ketersediaan sumberdaya seperti yang digambarkan di atas, namun besarnya sumberdaya hayati pesisir tersebut ‘berkorelasi negatif’ dengan tingkat kesejahteraan penduduknya. Sementara di sisi lain gejala kerusakan dan penurunan mutu lingkungan akibat pola-pola destructive seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bius, penebangan hutan mangrove, pengambilan batu karang dan sebagainya. Konsekuensi logis dari tekanan terhadap ekosistem tersebut berimbas pada menurunnya daya dukung lingkungan. Eksploitasi dengan orientasi keuntungan ekonomis semata telah mengorbankan aspek kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya yang ada. Laju pengrusakan ekosistem pesisir dan laut yang demikian cepat tersebut jelas menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan sumberdaya perairan dan sumber-sumber penghidupan banyak orang.

Kenyataan-kenyataan seperti yang digambarkan di atas, menjadi alasan utama JPKP Buton memutuskan untuk bekerja pada isu-isu pengembangan wilayah pesisir Buton secara geografis tanpa dibatasi oleh sekat-sekat wilayah administratif. Bahwa wilayah pesisir Buton yang luas dengan permasalahannya kompleks sehingga tidak bisa dinafikkan perlunya kerja keras banyak pihak (multi-stakeholders). Membangun wilayah pesisir seharusnya bukan menjadi tanggung jawab satu pihak, tapi semua elemen yang concern terhadap pesisir termasuk organisasi non-pemerintah. Memang bukan pekerjaan mudah untuk mewujudkan cita-cita ideal pengelolaan pesisir dan laut yang adil dan berkelanjutan. Tapi upaya-upaya yang tidak kenal lelah terutama inisiatif dari masyarakat lokal sebagai aktor utama (bukan objek penderita) diyakini akan mendorong terciptanya pola pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang berdampak pada perbaikan taraf ekonomi masyarakat tanpa mengesampingkan kelestarian dan keberlanjutan (sustainability) sumberdaya hayati perairan pesisir.

ANALISA PERAN DAN FUNGSI

Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) Buton adalah sebuah jaringan LSMdimana dalam melaksanakan program yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, JPKP Buton mengadopsi model Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat atau Community-Based Coastal Resources Management (CBCRM). Model tersebut dipadukan dengan konsep Program Pembangunan dan Pelestarian terpadu atau Integrated Concervation and Development Program (ICDP) dengan mendorong peran dan partisipasi yang lebih besar kepada masyarakat lokal dalam pengelolaan wilayah pesisirnya . Dalam hal ini masyarakat akan menjadi ‘aktor utama’ tanpa mengabaikan pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders).

Sementara dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan diperlukan perangkat kegiatan ekonomi berbasis pesisir yang dapat memberikan insentif kepada masyarakat sebagai penyandang-risiko langsung (direct stakeholder) untuk melaksanakan upaya-upaya rehabilitasi, pelestarian dan perlindungan. Dalam konteks pembangunan ekonomi pesisir tersebut, satu hal yang sangat penting adalah bagaimana mencermati pasar.
Jadi dalam mengelola wilayah pesisir dipegang prinsip dengan ciri : berorientasi kepada masyarakat miskin (pro-poor), memiliki komponen pelestarian (conservation), pembangunan ekonomi (economic development) dan keterkaitan dengan pasar (market-oriented).

Pendekatan Pengelolaan

Dalam pengelolaan pesisir, JPKP Buton beranggapan tidak cukup hanya dengan bekerja di level komunitas tapi juga di tingkat kebijakan. Oleh karena itu dianut sebuah pendekatan yang disebut two track approach atau pendekatan dua arah yakni pendekatan atas-bawah (top-down approach) dengan berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan kebijakan pesisir dan pendekatan bawah-atas (bottom-up approach) yaitu bekerja memperkuat masyarakat di tingkat akar rumput (grass root) dengan mengedepankan prinsip pelibatan/partisipasi masyarakat.

Dalam mengejawantahkan pendekatan di atas, ada semacam pembagian peran dimana Tujuh LSM mitra berkutat langsung di tingkat basis melalui pendampingan intensif sedangkan upaya advokasi kebijakan diperankan oleh jaringan.

IMPLEMENTASI DAN PERMASALAHAN

JPKP Buton efektif bekerja sejak dimulainya program CREED pada Oktober 2002. Sebelum memasuki program utama, dilakukan pilot project selama enam bulan (Oktober 2002 – Maret 2003). Setidaknya ada dua hal penting yang bisa dipenuhi kegiatan pilot ini yaitu :

 Ada ‘inovasi’ baru yang ditawarkan kepada masyarakat target dalam memanfaatkan sumberdaya. Inovasi baru tersebut harus mempunyai dimensi meningkatkan nilai ekonomi dan tetap menjamin kelestarian sumberdaya

 Kegiatan yang di-pilot-kan bersifat replicable artinya kegiatan tersebut bisa dilakukan atau diterapkan di tempat lain.

Pelaksanaan pilot project (yang kemudian disebut tahun “0”) di 7 (tujuh) lokasi masing-masing Desa Waoleona Kec. Lasalimu (dampingan Yay. Buana Hijau), Desa Barangka Kec. Kapontori (dampingan Lintas), Desa Kancinaa Kec. Pasarwajo (Dampingan Pelintas), Desa Mone Kec. Lakudo (dampingan Yay. Prima), Desa Wawoangi Kec. Sampolawa (dampingan Yay. Rampea), Desa Rahia Kec. GU (dampingan Yamansida) dan Kel. Masiri Kec. Batauga (dampingan Yasnawan). Sedangkan Sedangkan sekretariat jaringan memfasilitasi kegiatan penguatan kapasitas (capacity building) seperti pelatihan-pelatihan.

Adapun hasil dari kegiatan pilot project ini antara lain :

 Di desa Mone, dicoba pembesaran kepiting bakau dengan dua media yang berbeda yakni tambak dan karamba. Hasilnya pertumbuhan kepiting dalam tambak lebih cepat dibandingkan di dalam karamba. Persoalannya yang dihadapi adalah masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang usaha tersebut dan semakin berkurangnya stok bibit di alam.

 Di desa Barangka, kegiatannya adalah pembesaran teripang dalam wadah karamba. Hasilnya cukup bagus dimana salah jenis teripang dipelihara berhasil memijah dalam karamba dengan banyaknya bibit teripang yang masih kecil dalam karamba. Masalahnya adalah belum diperoleh teknik budidaya yang baik seperti formula pakan tepat untuk membantu pertumbuhan teripang.

 Di desa Waoleona, dilakukan penanaman mangrove (replanting) dan sampai akhir pilot hasilnya cukup bagus dilihat tingkat survival anakan mangrove yang ditanam meskipun tetap ada kendala ‘predator’ seperti kepiting.

 Di Kel. Masiri dan Desa Rahia, coba diperkenalkan metode lain budidaya rumput laut dengan long-line dimana di kedua tempat tersebut kebanyakan menggunakan rakit. Sistem long-line diharapkan bisa mengurangi permasalahan petani pembudidaya, di Masiri misalnya, kegiatan budidaya hanya dilakukan pada saat musim timur karena gangguan ombak pada musim barat sedangkan di Rahia masalah utama yang dihadapi adalah hama lumut. Namun ternyata tidak mudah mengubah kebiasaan mereka termasuk alasan takut gagal.

Memasuki tahun pertama yang berlangsung dari Mei 2003 hingga April 2004, dan tahun kedua dari Juni 2004 sampai sekarang kegiatan sudah lebih kompleks. Sebagai review berikut di paparkan berdasarkan jenis kegiataannya.

a. Pengembangan ekonomi masyarakat

Untuk pengembangan ekonomi hampir semua kegiatan menerapkan sistem dana bergulir (revolving fund) dengan harapan dana yang terbatas bisa diakses oleh banyak orang. Seperti dalam konsep dijelaskan sebelumnya bahwa usaha peningkata ekonomi yang dilakukan tetap akan memperhatikan kelestarian sumberdaya. Usaha budidaya/pembesaran misalnya, disamping bisa memberi nilai tambah juga diharapkan bisa menjadi solusi bagi semakin terbatasnya stok sumberdaya di alam. Usaha budidaya yang telah dilakukan adalah rumput laut (Masiri, Rahia, Pulau Makassar dan Barangka), kepiting bakau dan rajungan (Mone), teripang dan kerang mutiara (barangka). Sedangkan usaha penangkapan diarahkan pada pengadaan rumpon yang diharapkan bisa mengalihkan penangkapan di sekitar pantai untuk mengurangi tekanan terhadap ekosistem karang, ke perikanan lepas pantai (offshore). Kegiatan ini dilakukan di Desa Wawoangi dan Desa Waoleona serta sebagai sarana pendukung diberikan bantuan mesin katinting. Kegiatan ekonomi yang lain adalah microfinance terutama bagi ibu-ibu (aspek pemberdayaan gender) dengan usaha yang bervariasi mulai dari papalele, pembuat abon, pengacip jambu mete, penjual jajanan sampai usaha parut/penggilingan. Pembelajaran yang didapat usaha ekonomi produktif ini terutama hubungannya dengan dana bergulir adalah bahwa sangat perlu analisa kelayakan usaha terutama peluang pasar. Karena pengalaman menunjukkan bahwa kita telah berhasil mendorong masyarakat untuk berproduksi/meningkatkan produk tapi kemudian terkendala pada pemasaran seperti kasus pembuatan abon ikan di Desa Wawoangi dan Kel. Katilombu, Sampolawa.

b. Upaya Pelestarian dan pendidikan lingkungan

Untuk upaya pelestarian lingkungan dilakukan dengan kegiatan rehabilitasi mangrove yang dilakukan di Desa Waoleona dan Desa Mone. Di Desa Waoleona telah dilakukan sejak pilot project sedangkan di Mone baru dimulai pada tahun kedua. Kalau ukurannya adalah prosentase mangrove yang bertahan hidup maka kegiatan di Waoleona cukup baik dengan survival rate sekitar 70 – 80 % dan masih bertahan sekitar 4.000 pohon. Tapi harapannya adalah tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove bukan faktor insentif yang mendorong antusiasme menanam bakau.
Selain rehabilitasi, upaya pelestarian juga dilakukan dengan langkah preventif melalui kegiatan penyuluhan verbal yang difasilitasi oleh jaringan maupun kampanye pelestarian memanfaatkan media audio visual dengan pemutaran film bernuansa lingkungan sampai event lain menanamkan cinta pesisir sejak usia dini seperti lomba lukis untuk anak sekolah bertema pesisir. Yang tidak kalah pentingnya adalah penyadaran yang dilakukan secara kontinu oleh para pendamping lapangan.

c. Advokasi Kebijakan Pesisir

Di tingkat yang lebih tinggi (kabupaten/kota) peran ini banyak dilakukan oleh jaringan melalui kegiatan kajian reguler yang diharapkan bisa memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan. Disamping itu JPKP Buton juga turut aktif dalam proses pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pesisir seperti Rakorbang, lokakarya penyusunan draft perda pesisir, rencana zonasi dan lain-lain. Di level komunitas upaya ini dilakukan oleh LSM mitra, misalnya memfasilitasi penyusunan Peraturan Desa (Perdes) tentang pengelolaan pesisir di Desa Mone Kecamatan Lakudo.
Selama lebih dua tahun bergelut pada pengelolaan pesisir, masih banyak permasalahan pelik yang menghadang. Namun dengan prinsip terus berproses dan belajar dari pengalaman serta tetap membangun ‘jaringan’ dengan berbagai pihak diyakini upaya-upaya yang dilakukan tidak sia-sia minimal kita bisa belajar untuk lebih arif dalam mengelola sumberdaya dan lingkungan pesisir.
--------------------------------------- --------------------------------------

Selasa, 07 Juli 2009

BAU-BAU UNDERGROUND

This story about The Bau-Bau a very underground simplicate to know how the underground community about the road singers in Kamali site



CERITA FILM DI PULAU KABAENA
















Ibu Haisa (berbaju hijau) sedang mengikat ikan jualannya(gbr atas), Ivon (juru kamera) asyik mengambil gambar ( gbr bawah)


CERITA SAAT BIKIN FILM KOMUNITAS PESISIR DI PULAU KABAENA

Oleh : ARMAND MANILA NUHU

Komunitas Pesisir yang selama ini didampingi oleh Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir atau JPKP BUTON, tersebar pada 20 desa di empat wilayah yaitu Kabupaten Buton, Kota Bau-Bau, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.

Beragam aktifitas komunitas ini menjadi hal menarik untuk di angkat ke dalam film documenter agar dapat memberikan informasi, pendidikan dan pengetahuan tentang kehidupan komunitas pesisir itulah, pada bulan Juni 2009, saya bersama IVON sang juru kamera dan crew film berkeliling selama sebulan untuk membuat film documenter pada 8 desa/kelurahan yaitu di desa Dongkala dan desa Toli-Toli Kabupaten Bombana serta di desa Lanto, Desa Marawali dan Desa Boneoge Kabupaten Buton, Desa Oempu di kabupaten Muna serta Kelurahan Katobengke dan Kelurahan Sukanaeyo di Kota Bau-Bau dimana pembuatan film ini didanai oleh Project Building Opportunity yang pendanaannya berasal dari OXFAM GB dan UNI EROPA.

Berangkat ke lokasi syuting

Beberapa hari sebelum kami berangkat ke lokasi syuting, seluruh anggota tim Film Dokumenter JPKP berkumpul di kantor JPKP untuk membahas ide cerita pada masing – masing lokasi desa yang akan dituangkan kedalam naskah dan struktur film agar memudahkan kami dalam pengambilan gambarnya di lapangan utamanya untuk Desa Toli-Toli yang akan menjadi tujuan pertama kami. Disamping itu juga kami mengecek kesiapan seluruh peralatan antara lain camera Panasonic MD10000 3CCD, lighting, tripod, camera digital, fulpen, buku, jas hujan dan beberapa peralatan pendukung lainnya.

Pada tanggal 10 Juni 2009, pagi jam 7.00 saat mentari baru saja menampakkan diri diufuk timur, kami beserta Crew film ditemani oleh Project Manager LSM PRIMA sebagai lembaga pendamping di Kabupaten Bombana berkumpul di pelabuhan kapal ferry dengan menggunakan sepeda motor menyeberang ke pulau Kabaena. Tepat jam 10.00 pagi, kapal sudah berlayar mengarungi lautan yang agak bergelombang karena angin tenggara yang berhembus perlahan.

Pukul 14.30 siang, dari kejauhan telah nampak pulau Kabaena yang terkenal dengan gunung Sabampolulu dengan ketinggian lebih kurang 700 meter dpl, sehingga perjalanan yang cukup melelahkan selama hampir 6 jam diatas kapal, terobati dengan melihat puncak gunung Sabampolulu dari kejauhan yang berdiri kokoh seakan memberitahu setiap orang yang akan menginjakkan kaki di pulau Kabaena bahwa orang – orang yang mendiami pulau ini juga adalah pekerja tangguh dan kokoh dalam menghadapi tantangan alam.

Sekitar pukul 15.20, kapal ferry yang kami tumpangi mulai merapat di pelabuhan Dongkala, dan seakan menyadarkan kami untuk segera mempersiapkan diri dan memulai petualangan di pulau Kabaena.

Dengan perut yang belum sempat terisi saat di atas kapal tadi, kami dan rombongan yang di fasilitasi oleh YULNU, PM LSM PRIMA lalu mengendarai motor menuju tempat menginap selama berada di pulau ini untuk membuat film documenter tentang nelayan jaring di Desa Dongkala dan film documenter perempuan penjual ikan keliling di desa Toli-Toli.

Sore hari sekitar pukul 17.00, setelah mengecek seluruh peralatan jangan sampai ada yang tertinggal diatas kapal, kami dan rombongan walaupun belum sempat mandi, lalu berangkat menuju desa Toli-Toli yang berjarak 15 kilometer dari basecamp untuk bertemu dengan kelompok perempuan penjual ikan dan mendiskusikan persiapan pembuatan film yang rencanakan akan mulai syuting sejak pukul 03.30 dini hari.

Pada saat diskusi tersebut disepakati bahwa yang akan menjadi pemeran utama adalah IBU HAISA yang juga merupakan Ketua Kelompok Cinta Madinah dimana seluruh anggota kelompok ini adalah perempuan penjual ikan yang menjual ikannya dengan cara dijunjung di atas kepala menggunakan loyang dan berjalan kaki berkeliling dari kampung ke kampung dan dari satu desa ke desa lainnya. Selain pemeran utama, disepakati pula bahwa anggota kelompok yang lain, termasuk kepala desa dan beberapa tokoh masyarakat akan menjadi pemeran pendukung saat pengambilan gambar esok hari.


Matahari telah lama terbenam ketika kami beranjak meninggalkan desa Toli-Toli menuju basecamp di desa Dongkala dengan menyimpan janji bahwa jam 03.00 dinihari kami akan kembali lagi untuk memulai aktifitas pengambilan gambar.

Setelah makan malam, kami dan tim lalu melakukan pertemuan untuk membahas kembali ide cerita dan struktur film yang akan di buat di Desa Toli-Toli serta merevisi ulang beberapa struktur film sebagai acuan pengambilan frame gambar berdasarkan hasil eksplorasi juru kamera pada diskusi sore tadi dengan para anggota kelompok yang akan difilmkan.

Pukul 22.00, kami semua beranjak bubar dan tidur karena pukul 03.00 dinihari sudah harus bangun dan memulai pengambilan gambar di rumah Ibu HAISA.

Syuting Lapangan

Saat kami dan crew tiba di desa Toli-Toli, suasana desa masih sunyi dan penduduk masih terlelap tidur demikian pula saat tiba dirumah Ibu Haisa. Dengan memberanikan diri, Yulnu yang sudah sangat akrab dengan warga desa termasuk Ibu Haisa, mengetuk pintu Ibu Haisa untuk membangunkannya.

Ibu Haisa, yang akan menjadi pemeran utama adalah seorang perempuan kepala keluarga karena sejak 10 tahun yang lalu telah ditinggal mati oleh suaminya. Untuk menghidupi dirinya dan kedua anaknya yang masih kecil, ibu ini berjualan ikan keliling. Pada tahun 2006, saat Program BUILDING OPPORTUNITY yang di danai oleh OXFAM GB dan UNI EROPA bekerjasama dengan JPKP BUTON dan di dampingi oleh LSM PRIMA sebagai LSM Pendamping, membantu warga desa Toli-Toli dalam bentuk pemberian dana dan peralatan untuk melakukan kegiatan usaha mikro dengan system refolving fund untuk para perempuan penjual ikan keliling, para nelayan jaring, para petani rumput laut serta membantu merehabilitasi daerah pantai desa Toli-Toli dengan menanam pohon bakau sebanyak 10.000 pohon.

Sejak adanya bantuan dari Program Building Opportunity, kesulitan masyarakat akan modal mulai tertanggulangi dan saat film documenter ini dibuat, berdasarkan hasil eksplorasi kami, telah banyak perubahan yang terjadi dan manfaat yang dirasakan oleh warga masyarakat yang menjadi penerima manfaat, salah satunya Ibu Haisa.

Pukul 05.00 syutingpun dimulai, walaupun molor dari waktu yang telah ditentukan yaitu pukul 03.30, kami dan seluruh crew tetap bersemangat untuk memulai syuting karena arahan yang kami berikan untuk Ibu Haisa dengan cepat dimengerti sehingga kami merasa terbantu dan menjadi yakin tidak akan mengalami hambatan yang berarti saat mengambil seluruh adegan yang akan dilakukan oleh Ibu Haisa.

Adegan pertama, dimana Ibu Haisa mulai bangun tidur sampai mempersiapkan peralatan jualannya serta menitipkan uang sekolah kepada anak bungsunya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar dilaluinya dengan baik walaupun dilakukan pengulangan adegan sampai 4 kali tetapi tetap berjalan dengan lancar termasuk juga saat pengambilan adegan dimana Ibu Haisa membuka pintu dan menutup pintu rumahnya untuk menuju ke pelabuhan sebagai tempat pembelian ikan hasil tangkapan nelayan yang akan dijualnya kembali ke kampung – kampung

Dari adegan pertama sampai terakhir yang diperankan oleh ibu Haisa berjalan dengan baik dan seluruh crew merasa puas dengan kondisi tersebut serta angel – angel gambar yang dihasilkanpun sangat bagus termasuk saat ibu Haisa bernegosiasi dengan nelayan tangkap yang ikannya akan dibeli oleh Ibu Haisa.

Setelah seluruh rangkaian struktur film untuk Ibu Haisa selesai diambil, kami lalu secepatnya melakukan setting untuk tempat pertemuan kelompok karena kamipun akan mengambil adegan dimana kelompok melakukan rapat setiap bulannya untuk membahas masalah-masalah atau informasi yang berkembang baik di desa maupun dari pengelola program untuk dibicarakan dalam pertemuan kelompok.

Tanpa terasa waktu telah beranjak pada pukul 10.30 pagi, seluruh adegan sesuai naskah dan struktur film telah selesai diambil. Yang tertinggal hanyalah pengambilan gambar wawancara dengan Ibu Haisa, Tokoh Masyarakat dan Kepala Desa Toli-Toli yang belum sempat diambil oleh juru kamera. Kami dan warga serta kepala desa bersepakat untuk istirahat karena di rumah salah satu kepala kampung telah disiapkan ikan bakar yang banyak beserta nasi padahal belum saatnya makan siang. Dengan perasaan senang seluruh crew lalu menuju rumah kepala kampung dengan satu tujuan menghajar habis seluruh ikan bakar yang telah disiapkan khusus untuk kami.

Pukul 14.00 setelah cukup beristirahat, kami mencoba merampungkan pengambilan gambar wawancara dengan Ibu Haisa, Tokoh Masyarakat da Kepala Desa Toli-Toli namun karena kesibukan beberapa sumber yang akan diwawancarai maka hari itu kami hanya bisa merampungkan wawancara dengan Ibu Haisa sementara dengan Tokoh Masyarakat dan Kepala Desa akan di ambil sore keesokan harinya.

Selama dua hari di desa Toli-Toli Pulau Kabaena, banyak kesan yang kami dapat karena kehadiran kami selama pembuatan film documenter menjadi tontonan menarik warga desa apalagi saat malam sebelum kami meninggalkan desa Toli-Toli, kami sempat memutarkan warga desa hasil pengambilan gambar yang telah kami selesaikan dimana segala kelucuan saat pengambilan gambar membuat warga yang menonton tertawa terpingal – pingkal apalagi saat ibu Haisa berbahasa BUGIS pada saat diwawancarai semakin membuat mereka merasa senang dan menertawakan Ibu Haisa yang tidak lancer berbahasa Indonesia di hadapan kamera.
Selamat tinggal seluruh warga desa Toli-Toli, terima kasih atas kebaikan dan keramahannya menerima kami selama dua hari, esok entah kapan kami ingin sekali kembali ke pulau Kabaena, kembali ke Desa Toli-Toli untuk merasakan kembali sentuhan kehangatan suasana desa kalian.


( To Be Continued )






Senin, 06 Juli 2009

SANG INSPIRATOR

Bapak La Ode Zini adalah seorang nelayan miskin yang keseharian hidupnya bergantung pada laut namun karena sumber daya laut yang ada di desanya setiap tahun semakin di rusak oleh tangan - tangan yang tidak bertanggung jawab membuat Bapak ini berpikir agar kerusakan tersebut tidak semakin parah, maka pada tahun 2000 hatinya tergerak untuk memanfaatkan pantai sebagai tempat budidaya berbagai macam habitat laut seperti ikan, teripang dan berbagai jenis siput yang kemudian di restocking atau di lepas lagi ke alam. Selain itu, di tanamnya pula bakau yang oleh masyarakat di sekitarnya apa yang dilakukan Bapak ini dianggap sesuatu yang gila dan pekerjaan yang sia-sia. Masa depan yang cerah mulai tampak pada tahun 2006 ketika apa yang dilakukannya mulai berbuah manis, apalagi pada tahun 2006 itu pula Bapak La Ode Zini mendapatkan pendampingan dari Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir ( JPKP ) BUTON. Film ini dibuat untuk didedikasikan kepada Bapak La Ode Zini atas INSPIRASInya dan semoga dapat memberi inspirasi pula bagi masyarakat yang lain.





Kabar Dari Buton

PEMANFAATAN SUMBERDAYA LAUT MELALUI PEMBERDAYAAN NELAYAN
Oleh : ARMAN MANILA NUHU ( Koordinator JPKP Buton )

Upaya pemerintah untuk lebih bersungguh-sungguh memanfaatkan potensi kelautan Indonesia, antara lain melalui pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan langkah yang sangat tepat. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi laut yang sangat besar. Namun, selama ini potensi laut tersebut belum termanfaatkan dengan baik dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa pada umumnya, dan pemasukan devisa negara khususnya. Bahkan, sebagian besar hasil pemanfaatan laut selama ini justru “lari” atau “tercuri” ke luar negeri oleh para nelayan asing beperlengkapan modern yang beroperasi di perairan Indonesia secara ilegal. Dalam konteks inilah upaya pemanfaatan laut Indonesia tidak saja tepat tetapi sudah merupakan keharusan. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah pemanfaatan laut yang bagaimana? Catatan kecil ini berargumentasi bahwa pemanfaatan laut di Indonesia haruslah berbasis komunitas - dalam hal ini komunitas nelayan - untuk benar-benar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara Indonesia.

Tiga Pendekatan Utama Dalam upaya memanfaatkan potensi laut, setidaknya terdapat tiga kemungkinan pendekatan utama yang sangat berbeda yang dapat dilakukan: (i) pemanfaatan laut secara segera dan besar-besaran melalui pemberian izin atau konsesi kepada perusahaan-perusahaan penangkapan ikan, baik nasional maupun asing, (ii) pemanfaatan secara gradual melalui pemberdayaan sebanyak mungkin nelayan dan komunitas nelayan, atau (iii) pendekatan campuran dari dua pendekatan tersebut.

Keuntungan dari pendekatan pertama, antara lain adalah pemasukan pajak dan concession fees lebih jelas dan lebih besar (dalam jangka pendek) serta tingkat eksploitasi secara teoritis lebih mudah diatur. Dalam pendekatan ini, pemerintah aktif mendorong dan menciptakan iklim bagi investasi usaha swasta di bidang kelautan. Namun, pendekatan yang mirip dengan model HPH dalam pemanfaatan hutan ini hanya akan menguntungkan segelintir pihak dan oleh karenanya cenderung tidak berkelanjutan karena eksploitasi dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak “dekat” dengan laut sebagai lingkungan hidup mereka.

Sementara itu, pendekatan yang kedua - yaitu berbasis masyarakat nelayan - memang tidak dapat diharapkan hasilnya secara cepat, pajak langsung yang masuk dalam jangka pendek akan jauh lebih kecil (bahkan mungkin tidak ada concession fees), pengaturannya akan lebih sulit dan kemampuan bersaing dengan nelayan asing pada tahap awal akan lebih terbatas.
Namun, model pemanfaatan laut seperti ini dapat memberikan manfaat kepada banyak orang dan kemungkinan dapat lebih berkelanjutan karena para nelayan tersebut sadar atau disadarkan (melalui proses pendampingan dan pemberdayaan) bahwa kehidupan mereka dan anak-cucu mereka sangat tergantung kepada keberlanjutan sumberdaya laut ini.

Pendekatan yang ketiga, yang merupakan campuran dari kedua pendekatan di atas, memiliki beberapa bentuk kemungkinan: (i) model bapak-asuh, dimana perusahaan besar pengnangkapan ikan berlaku sebagai “bapak-asuh” dan komunitas nelayan sebagai “anak-asuh”, (ii) model sub-kontraktor, dimana perusahan penangkapan ikan “menugaskan” pekerjaan penangkapan kepada nelayan atau mereka membeli dari nelayan, dan (iii) model persaingan bebas, dimana kedua pelaku pemanfaatan laut tersebut exist dan bersaing ataupun bekerja sama secara bebas.

Pada model yang terakhir, kemungkinan besar nelayan kecil akan kalah bersaing dengan penangkap ikan yang umumnya dilengkapi dengan peralatan penangkapan yang lebih baik daripada yang digunakan para nelayan tradisional. Melihat berbagai kemungkinan pendekatan dan model pemanfaatan di atas, jika yang diinginkan bukan saja peningkatan hasil pemanfaatan laut, tetapi juga pemerataan hasil pemanfaatan yang dinikmati seluas-luasnya oleh masyarakat, apapun pendekatannya akan membutuhkan pemberdayaan masyarakat nelayan. Jika kita menganggap kekayaan laut sebagai sumberdaya yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat Indonesia - sesuai jiwa UUD ‘45 - pemberdayaan masyarakat nelayan merupakan keharusan bagi Pemerintah.

Kemiskinan Nelayan Adalah merupakan suatu ironi bagi sebuah Negara Maritim seperti Indonesia bahwa masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin. Walau data agregatif dan kuantitatif yang terpercaya tidak mudah diperoleh, pengamatan visual/langsung ke kampung-kampung nelayan dapat memberikan gambaran yang jauh lebih gamblang tentang kemiskinan nelayan di tengah kekayaan laut yang begitu besar. Pemandangan yang sering kita jumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada beberapa rumah yang menonjolkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat tergantung pada individu yang bersangkutan.

Di samping itu, karena lokasi geografisnya yang banyak berada di muara sungai, lingkungan nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi. Lebih dari itu, aspirasi politisnya pun acap kali terabaikan. Dalam kondisi yang secara multidimensi demikian miskin, akan sangat sulit bagi para nelayan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan begitu saja bersaing dalam pemanfaatan hasil laut di era keterbukan sekarang ini. Mereka akan selalu kalah bersaing dengan perusahaan penangkapan ikan, baik asing maupun nasional, yang berperalatan modern. Oleh karena itu, pemberdayaan komunitas nelayan merupakan langkah yang sangat krusial dalam mencapai tujuan pemanfaatan kekayaan laut Indonesia.Pemberdayaan Pemberdayaan komunitas nelayan harus dilakukan dengan tepat dan harus berangkat dari kultur yang ada. Penekanannya harus kepada peningkatan kesadaran akan masalah dan potensi yang ada di dalam dan sekitar komunitas. Kalaupun ada bantuan dari luar komunitas (misalnya dari pemerintah, lembaga donor, atau LSM), sebaiknya jangan berbentuk sumbangan cuma-cuma (charity), melainkan berupa pancingan/stimulan bagi peningkatan kesadaran akan potensi sendiri serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan potensi tersebut. Bantuan dalam bentuk uang tidak boleh terlalu besar (karena akan “memanjakan”), tetapi juga jangan terlalu kecil (karena bisa tidak efektif dalam upaya mengangkat komunitas dari lingkaran kemiskinan). Besaran yang “pas” akan sangat tergantung pada situasi dan kondisi setiap komunitas nelayan dan mungkin tidak bisa disamaratakan.

Hal yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan proses pemberdayaan adalah pendampingan yang dilakukan oleh pendamping komunitas yang kompeten. Pendamping harus benar-benar memahami filosofi pendampingan masyarakat (khususnya masyarakat nelayan). Pendampingannya harus efektif, tetapi juga harus diupayakan untuk tidak menciptakan ketergantungan. Peran pendamping harus secara perlahan-lahan digantikan oleh tokoh atau lembaga lokal setempat sehingga tidak lagi bertumpu pada dukungan dana dari luar. Proses semacam ini tentu akan memakan waktu yang cukup lama untuk pendampingan saja mungkin diperlukan 3-5 tahun.

Oleh karena itu, jika program pemberdayaan ini (baik pada tahap inisiasi maupun keseluruhan) menggunakan dana Pemerintah - misalnya, anggaran dari Departemen Kelautan dan Perikanan atau dinas tertentu pada Pemerintah Daerah - harus diusahakan agar tidak terputus-putus oleh mekanisme tahun anggaran serta pendekatan yang paternalistik (ada target-target yang ditentukan oleh pejabat tertentu). Pada tingkatan komunitas, harus sungguh-sungguh diupayakan agar aktivitas yang terjadi merupakan upaya dari, oleh, dan untuk komunitas nelayan setempat.

Dan jika masyarakat nelayan di sepanjang pesisir Indonesia - yang konon menduduki peringkat nomor dua terpanjang yang dimiliki oleh sebuah negara - dapat terberdayakan, eksploitasi sumberdaya laut yang ada di Nusantara akan jauh lebih bermanfaat bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan daerak kita pada khususnya.

PROFIL JPKP BUTON

PROFIL JPKP BUTON

BUTON COASTAL AREA DEVELOPMENT NETWORK

PROFILE BACKGROUND

There are two major paradoxes that emerge when coastal regions are discussed: a high level of poverty compared to abundant coastal/marine resources, and secondly, environmental and ecosystem damage that rapidly occurs in the midst of the much-lauded indigenous knowledge. This has taken place in nearly every coastal region in Indonesia, including in South East Sulawesi and especially in Buton ( geographically and culturally ). The issue of poverty and the issue of environmental damage/decreased quality of natural resources are major problems that don,t have easy solutions because the causes and aspects of these issues are multi-dimensional and complicated.As a result of the complicated nature and multiple dimensions of the issues facing coastal areas, many stakeholders need to take a role in overcoming these problems, especially within the poor and marginalized communities ( fisherman and cultivators ).

This principle formed the basis for the birth of an NGO network know as JARINGAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR ( JPKP ) BUTON. This network came to life on the 24th June 2002 and consisted of 7 NGOs from Buton : LembagaPelestarian Lingkungan dan Pengembangan Masyarakat ( LINTAS ), Yayasan Buana Hijau, Lembaga Peduli Lingkungan Tanpa Batas ( PELINTAS ), Yayasan PRIMA, Yayasan RAMPEA, Yayasan Pengembangan Potensi Daerah ( YAMANSIDA ) and Yayasan Pengembangan Kawasan Pantai ( YASNAWAN ). In October 2004, JPKP decided to acquire legal status and add two more members, LSAIN ( Lembaga Suaka Alam Indonesia ) and HUMANIORA.

As often with development of networks, internal changes occurred, especially in terms of mechanisms and organizational rules, which were then formalized in a statute, Standard Operational Procedure and other supporting regulations. JPKP BUTON, with the resources is possesses, continues to work for positive social change in coastal regions and continues to learn from dynamic and complex social and environmental problems.VISIONRealizing marine and coastal natural resource management, that is participative, just, community-based and sustainable, in order to increase the people’s prosperityMISSIONEncourage and facilitate community empowerment and the management , use and conservation of coastal and marine areas using a community – based approach.Encourage capacity strengthening in the community and for NGOs working to support the empowerment of coastal communities

ACTIVITIES

1. Advocacy
2. Capacity Building
3. Marine Biodiversity and eco-system conservation
4. Economic Development and Empowerment
5. Developing Marine Commodity Cultivation
6. Food Security
7. Technical Assistance
8. Study, Research and Surveys

NGO MEMBERS OF JPKP

1. Lembaga Pelestarian Lingkungan dan Pengembangan Masyarakat ( LINTAS )
2. Yayasan Buana Hijau
3. Lembaga Perlindungan Tanpa Batas ( PELINTAS )
4. Yayasan PRIMA
5. Yayasan RAMPEA
6. YAMANSIDA
7. YASNAWAN
8. LSAIN
9. HUMANIORA
10.LAWA TOUDANI

PROGRAMS

1. Program Coastal Resources, Environmental and Economic Development ( CREED PROGRAM ). In Cooperation with OXFAM GB from October 2002 – April 2006. This Program focused on economic empowerment and coastal environmental protection in 8 villages in Buton sub-district and Bau – Bau municipality. Over three years, this program benefitted 823 people ( 604 men and 219 women ) with a total budget of Rp. 1. 565.707.0002.

2.Baseline Study: Coastal Resources and Pattern of Use in Lakonea Village, North Buton, South East Sulawesi, Indonesia in cooperation with CBCRM Resource Center Philippines from 1 September 2003 – 28 Pebruary 2004 with funding totaling US$ 2.3043.

3. Program Driving Change: Strengthening Civil Society Engagement in The Planning, Implementation and Monitoring of Pro-Poor Local Policies in Indonesia with OXFAM GB and funding from DfID from February 2006 – March 2008. This program is an advocacy program aimed at encouraging policy change towards a pro-poor perspective with a budget of Rp. 1.241.480.000.4.

4. Program Building Opportunity: Strengthening the Capacity of Poor Small Island Communities in Indonesia to Develop Sustainable Livelihoods in cooperation with the European Commision ( EC ) and OXFAM GB from February 2006 – March 2010. This program focused on food security issues and incomes of poor communities in small islands in 20 villages in 4 sub-district/municipalities : Buton sub-district ( 11 locations ), Bau – Bau Municipalities ( 5 locations ), Bombana sub-district ( 2 locations ) and Muna sub-district ( locations ). The four year program will use Rp. 2.457.600.000,- which will be provided by both the EC ( 74% ) and OGB ( 26% )5.

5. Pilot Project Organic Farming Certification in cooperation with The Organic Alliance of Indonesia – the pilot be implemented in 2007 ( 1 years ) and will include status assessment for farming organizations in the pilot location in Buton sub-district ( 2 locations ), and will be do the training for Internal Control System and Ispection/Certification

NETWORKINGJPKP BUTON

Participates in a number of national – level organizations such as KIARA ( Koalisi Ikan Untuk Rakyat ), FFTI ( Forum Fair Trade Indonesia ) and Jaringan Aksi Pangan Indonesia ( FIAN Indonesia )

CONTACT PERSON

ARMAND MANILA NUHU ( General Coordinator )
Telefax ( 0402 ) 2821921
HP : 081341564636-081245520005

Email : jpkpbuton@yahoo.co.id, pesisirbuton@telkom.net

Head Office : Sultan Murhum Street 116th
Bau – Bau
South East Sulawesi
Indonesia

FILM DARI JPKP BUTON

Beberapa film dokumenter tentang komunitas pesisir yang dibuat oleh JPKP BUTON bekerjasama dengan OXFM GB dan UNI EROPA memberi nilai penting bagi publikasi komunitas di PULAU BUTON