Kamis, 09 Juli 2009

MEMPERTEGAS KELAUTAN KITA

Pada 10 Juli 2009 11:49, Midaria Novawanty mnovawanty@gmail.com

MEMPERTEGAS KELAUTAN KITA
Catatan Kritis Atas Reforma Agraria di Sektor Kelautan dan Perikanan
Oleh : Midaria Novawanty

Mukadimah

Semasa rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998), agenda reforma agrariaditafsirkan sebatas menjadikan tanah dan sumberdaya alam lainnyasebagai komoditas dan obyek eksploitasi semata. Dalam pada itu,partisipasi rakyat dipinggirkan. Tak ada akses untuk sekadarmemperpanjang nafas hidup. Singkatnya, rakyat dipaksa mandiri untukmemenuhi kebutuhan dasarnya. Ironisnya, paksaan ini menempatkan rakyatharus berhadapan dengan birokrasi yang koruptif dan pemodal yangmenghalalkan pelbagai cara untuk merengkuh tujuannya.Pada pembuka tahun 2007, tersiar dua kabar penting menyangkutkebijakan agraria nasional, yakni dibatalkannya rencana perubahanUndang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-PokokAgraria (UUPA), dan dicetuskannya rencana pelaksanaan reforma agrariapada pidato awal tahun 2007 oleh Presiden RI.Tak pelak, dua kabar gembira ini memberi angin segar bagi perwujudancita-cita bangsa, yakni mengejawantahkan masyarakat yang sejahtera,berkeadilan, dan berkeadaban. Bagi rakyat, tanah dan sumberdaya alamlainnya merupakan faktor kehidupan yang teramat penting. Tak hanyasebagai ruang produksi, tanah dan sumberdaya alam lainnya jugamengandung makna politik, sosial, budaya, dan religius. Dalam ruangitulah, mereka menambatkan cita-cita kehidupannya dan sebisa mungkinmemberi sumbangsih bagi kemajuan negeri.
Tulisan ini hendak memotret relevansi reforma agraria di sektorkelautan dan perikanan, memberi catatan kritis atas kesalahan rezim dimasa lampau dan masa kini terkait agenda reforma agraria, dan usulansolusi yang bisa diacu sebagai panduan pelaksanaan reforma agraria disektor kelautan dan perikanan.
Relevansi reforma agraria
Pelaksanaan reforma agraria merupakan cita-cita bangsa Indonesia yangtelah lama dikumandangkan sejak awal pendirian bangsa. Sebagaimanadiamanahkan oleh Soekarno pada HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,17 Agustus 1960:"Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidakuntuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk gendutkarena menghisap keringatnya orang-orang yang diserahi menggarap tanahitu. Jangan mengira 'land-reform' yang kita hendak laksanakan adalahkomunis! Hak milik atas tanah masih kita akui! Orang masih boleh punyatanah turun-temurun. Hanya luasnya milik itu diatur baik maksimumnyamaupun minimumnya, dan hak milik tanah itu kita nyatakan berfungsisosial, dan negara dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum memilikikekuasaan yang lebih tinggi daripada hak milik perseorangan".
Apa yang disampaikan oleh Soekarno merupakan perpanjangan dari idedasar pelaksanaan reforma agraria, yakni mewujudkan keadilan agraria.Perwujudan keadilan agraria ini ditopang oleh 3 (tiga) prinsip pokok,yakni (1) hak rakyat untuk berkembang dan menentukan arahperkembangannya; (2) hukum agraria bersifat kerakyatan dan memihakkaum marginal; dan (3) hukum agraria menganut asas kebangsaan denganmenghormati keragaman budaya yang termuat dalam hukum-hukum adat.Ketiga prinsip inilah yang menjadi pedoman relevansi pelaksanaanreforma agraria di Indonesia.
Ditambah lagi, Deklarasi Djoeanda 1957 tegas menyebutkan bahwa"pembangunan Indonesia harus berorientasi pada aspek kelautan denganmemperhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pelbagai pulau". Pundengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa"sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dipandang sebagai kesatuankewilayahan yang harus diperuntukkan bagi sebesar-besar kemakmuranrakyat".
Potret krisis kelautan
Diterbitkannya UU No. 27 Tahun 2007 oleh DPR RI ini tak hanyabertolak-belakang dengan rencana pelaksanaan reforma agraria, tetapijuga mengulang kesalahan fatal rezim Orde Baru. Bentuk kesalahan ituadalah pemberian izin kepada pemodal untuk mengeruk-habis sumberdayalaut dan pesisir melalui hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) denganmeminggirkan hak-hak konstitusi nelayan tradisional dan masyarakatyang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Belajar dari pengalaman rezim Orde Baru, kesalahan fatal dalamkebijakan pengelolaan sumber-sumber agraria terpola dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
(1) kebijakan sarat eksploitasi dan (2)kebijakan bersifat sektoral dalam penguasaan, penggunaan, danpengelolaan tanah dan sumberdaya alam lainnya guna mengejar efisiensiekonomi; (3) kerap memakai pendekatan top-down dan sentralistik; (4)sarat konflik kepentingan antara institusi dan pemodal; (5) prinsipdiskriminasi lebih mengedepan; dan (6) menyulut aparatur negaraberlaku represif dan melanggar HAM.
Pelanggaran HAM terkait reforma agraria tak hanya berdampak padadegradasi lingkungan hidup, melainkan juga telah menyub-ordinasimanusia (baca: rakyat) tak lebih sebagai obyek pembangunan. Prosesdehumanisasi ini berkait-kelindan dengan minusnya visi pembangunanbangsa Indonesia yang berjangkar pada kodratnya, yakni negerikepulauan. Alhasil, orientasi pembangunannya berjalan melambat danamburadul. Masyhur sebagai negeri kepulauan dengan luas wilayah perairan 5,8juta km2, luas daratan hanya 1,9 juta km2, dan memiliki 17.508 pulaubesar dan kecil, serta panjang pantai seluas 81.000 km2, Indonesiadihadapkan pada tiadanya visi kelautan yang menjadi rujukan pokokpembangunan. Terlebih, pembangunan yang berlangsung hingga detik initerlampau berwatak daratan (land-based).
Dari deskripsi di atas, dapat diperoleh pemahaman bahwa reformaagraria di sektor kelautan dan perikanan tak bisa dilepaskan dari tigaaspek pokok pembangunan. Pertama, aspek politik. Dalam lanskappolitik, hak konstitusi yang mesti diberikan adalah perluasanpartisipasi aktif masyarakat dalam merumuskan kebijakan di tingkatlokal, khususnya menyangkut rencana pelaksanaan reforma agraria.Dengan perkataan lain, kebijakan yang dilahirkan bukan didasarkan padasemangat sentralistik, melainkan desentralistik.Kedua, aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Dalam konteks ini, nelayantradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus diberikan hak untuk mengelola sumberdaya alam sesuaidengan kebutuhan dasar dan kearifan lokal yang mereka hayati, bukandikte pemerintah pusat.Dengan demikian, rencana pelaksanaan reforma agraria di sektorkelautan dan perikanan haruslah memperhitungkan keberadaan nelayantradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai subyek pembangunan, bukan malah meniadakan hak-hakkonstitusi mendasar yang semestinya harus dipenuhi oleh negara (baca:pemerintah), seperti tecermin pada substansi UU No. 27 Tahun 2007tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sertaPerMen No. 06 Tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan IkanPukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara.
Penutup
Dengan memperhatikan karakteristik negara kepulauan, reforma agrariadi sektor kelautan dan perikanan harus mampu mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh nelayan tradisional danmasyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecilakibat visi pembangunan yang sekadar memandang laut sebagai "lahanbuangan," bukan sebagai ruang hidup dan ruang juang segenap anakbangsa. Tumpulnya visi pembangunan kelautan berdampak pada: (a) hilangnyaakses masyarakat terhadap tanah dan sumber daya alam lainnya; (b)penurunan kualitas sumber daya manusia; (c) struktur sosial, budaya,ekonomi, dan politik yang kian jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaandan budaya bangsa Indonesia; serta (d) kerusakan lingkungan hidup danhancurnya sumber-sumber daya alam lainnya. Tak ayal, pelaksanaan reforma agraria di sektor kelautan danperikanan haruslah memperhatikan karakteristik wilayah dan pelbagaidimensi kehidupan yang mengitari keseharian nelayan tradisional danmasyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecilIndonesia. Terlebih konsepsi sebagai negeri kepulauan telah mengakar danbersifat final. Salah satu cirinya adalah melimpahnya budaya bahariyang melekat pada jati diri dan sistem sosial kemasyarakatan bangsaIndonesia. Di pelbagai kepustakaan, kita mengenal ponggawa laut2(Sulawesi Selatan), bapongka3 (Sulawesi Tengah), dan sasi4 (MalukuTengah) sebagai bentuk-bentuk kearifan tradisional yang arif terhadapsumber daya laut dan perikanan nasional. Pun terhadap keberlanjutanekologis. Pada konteks ini, ada keterkaitan relasi sosio-ekologisantara manusia dan sumber daya laut dan perikanan. Akhirnya, dukungan Indonesia atas United Nation Declaration on theRights of Indigenous Peoples (UNDRIP) pada tanggal 13 September 2007lalu adalah bentuk penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakatadat di Indonesia, termasuk di dalamnya nelayan tradisional danmasyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.Mengacu pada sumber historis ini, selaiknya rencana pelaksanaanreforma agraria di sektor kelautan dan perikanan mengikutsertakankearifan tradisional yang telah berurat-akar dan menyatu dalam jatidiri Keindonesiaan, bukan malah meminggirkan masyarakat adat melaluiHak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dan pelegalan kembali trawl.
Saatnya Indonesia melaut!--
M.Riza Damanik
Secretary General of KIARA (Fisheries Justice Coalition)
Address. Jl. Tegal Parang Utara No. 43 Pancoran, Jakarta SelatanINDONESIA 12790

Tidak ada komentar:

Posting Komentar