Kamis, 09 Juli 2009

PENGELOLAAN PESISIR BUTON










Pemetaan masalah pengelolaan pesisir Buton (gbr atas) Nelayan desa batu banawa sedang panen kerang mutiara(gbr bawah)
PERAN, FUNGSI DAN PERMASALAHAN DALAM PENGELOLAAN PESISIR BUTON

Oleh : Arman Manila Nuhu

U M U M

Tidak bisa dipungkiri bahwa perairan Buton memiliki potensi sumberdaya hayati perairan yang kaya dan melimpah. Potensi-potensi tersebut terdiri dari perikanan tangkap (ikan pelagis, demersal ataupun ikan karang) dan potensi budidaya laut (mariculture) seperti rumput laut, ikan kerapu, kerang mabe dan lain-lain. Hal tersebut tidak terlepas dari letak strategisnya yang termasuk dalam wilayah zoogeografi Wallacea sehingga memiliki keanekaragaman hayati terumbu karang yang tinggi, disamping keberadaan ekosistem khas tropik lainnya seperti hutan mangrove dan padang lamun yang berperan besar dalam ‘menyuplai’ sumberdaya ekonomis penting.

Yang ironis adalah bahwa masyarakat pesisir yang notabene merupakan penduduk mayoritas daerah ini, sebagian besar masih menyandang ‘status’ miskin dan marginal. Padahal secara logika seharusnya mereka hidup lebih sejahtera mengingat ketersediaan sumberdaya seperti yang digambarkan di atas, namun besarnya sumberdaya hayati pesisir tersebut ‘berkorelasi negatif’ dengan tingkat kesejahteraan penduduknya. Sementara di sisi lain gejala kerusakan dan penurunan mutu lingkungan akibat pola-pola destructive seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bius, penebangan hutan mangrove, pengambilan batu karang dan sebagainya. Konsekuensi logis dari tekanan terhadap ekosistem tersebut berimbas pada menurunnya daya dukung lingkungan. Eksploitasi dengan orientasi keuntungan ekonomis semata telah mengorbankan aspek kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya yang ada. Laju pengrusakan ekosistem pesisir dan laut yang demikian cepat tersebut jelas menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan sumberdaya perairan dan sumber-sumber penghidupan banyak orang.

Kenyataan-kenyataan seperti yang digambarkan di atas, menjadi alasan utama JPKP Buton memutuskan untuk bekerja pada isu-isu pengembangan wilayah pesisir Buton secara geografis tanpa dibatasi oleh sekat-sekat wilayah administratif. Bahwa wilayah pesisir Buton yang luas dengan permasalahannya kompleks sehingga tidak bisa dinafikkan perlunya kerja keras banyak pihak (multi-stakeholders). Membangun wilayah pesisir seharusnya bukan menjadi tanggung jawab satu pihak, tapi semua elemen yang concern terhadap pesisir termasuk organisasi non-pemerintah. Memang bukan pekerjaan mudah untuk mewujudkan cita-cita ideal pengelolaan pesisir dan laut yang adil dan berkelanjutan. Tapi upaya-upaya yang tidak kenal lelah terutama inisiatif dari masyarakat lokal sebagai aktor utama (bukan objek penderita) diyakini akan mendorong terciptanya pola pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang berdampak pada perbaikan taraf ekonomi masyarakat tanpa mengesampingkan kelestarian dan keberlanjutan (sustainability) sumberdaya hayati perairan pesisir.

ANALISA PERAN DAN FUNGSI

Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) Buton adalah sebuah jaringan LSMdimana dalam melaksanakan program yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, JPKP Buton mengadopsi model Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat atau Community-Based Coastal Resources Management (CBCRM). Model tersebut dipadukan dengan konsep Program Pembangunan dan Pelestarian terpadu atau Integrated Concervation and Development Program (ICDP) dengan mendorong peran dan partisipasi yang lebih besar kepada masyarakat lokal dalam pengelolaan wilayah pesisirnya . Dalam hal ini masyarakat akan menjadi ‘aktor utama’ tanpa mengabaikan pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders).

Sementara dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan diperlukan perangkat kegiatan ekonomi berbasis pesisir yang dapat memberikan insentif kepada masyarakat sebagai penyandang-risiko langsung (direct stakeholder) untuk melaksanakan upaya-upaya rehabilitasi, pelestarian dan perlindungan. Dalam konteks pembangunan ekonomi pesisir tersebut, satu hal yang sangat penting adalah bagaimana mencermati pasar.
Jadi dalam mengelola wilayah pesisir dipegang prinsip dengan ciri : berorientasi kepada masyarakat miskin (pro-poor), memiliki komponen pelestarian (conservation), pembangunan ekonomi (economic development) dan keterkaitan dengan pasar (market-oriented).

Pendekatan Pengelolaan

Dalam pengelolaan pesisir, JPKP Buton beranggapan tidak cukup hanya dengan bekerja di level komunitas tapi juga di tingkat kebijakan. Oleh karena itu dianut sebuah pendekatan yang disebut two track approach atau pendekatan dua arah yakni pendekatan atas-bawah (top-down approach) dengan berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan kebijakan pesisir dan pendekatan bawah-atas (bottom-up approach) yaitu bekerja memperkuat masyarakat di tingkat akar rumput (grass root) dengan mengedepankan prinsip pelibatan/partisipasi masyarakat.

Dalam mengejawantahkan pendekatan di atas, ada semacam pembagian peran dimana Tujuh LSM mitra berkutat langsung di tingkat basis melalui pendampingan intensif sedangkan upaya advokasi kebijakan diperankan oleh jaringan.

IMPLEMENTASI DAN PERMASALAHAN

JPKP Buton efektif bekerja sejak dimulainya program CREED pada Oktober 2002. Sebelum memasuki program utama, dilakukan pilot project selama enam bulan (Oktober 2002 – Maret 2003). Setidaknya ada dua hal penting yang bisa dipenuhi kegiatan pilot ini yaitu :

 Ada ‘inovasi’ baru yang ditawarkan kepada masyarakat target dalam memanfaatkan sumberdaya. Inovasi baru tersebut harus mempunyai dimensi meningkatkan nilai ekonomi dan tetap menjamin kelestarian sumberdaya

 Kegiatan yang di-pilot-kan bersifat replicable artinya kegiatan tersebut bisa dilakukan atau diterapkan di tempat lain.

Pelaksanaan pilot project (yang kemudian disebut tahun “0”) di 7 (tujuh) lokasi masing-masing Desa Waoleona Kec. Lasalimu (dampingan Yay. Buana Hijau), Desa Barangka Kec. Kapontori (dampingan Lintas), Desa Kancinaa Kec. Pasarwajo (Dampingan Pelintas), Desa Mone Kec. Lakudo (dampingan Yay. Prima), Desa Wawoangi Kec. Sampolawa (dampingan Yay. Rampea), Desa Rahia Kec. GU (dampingan Yamansida) dan Kel. Masiri Kec. Batauga (dampingan Yasnawan). Sedangkan Sedangkan sekretariat jaringan memfasilitasi kegiatan penguatan kapasitas (capacity building) seperti pelatihan-pelatihan.

Adapun hasil dari kegiatan pilot project ini antara lain :

 Di desa Mone, dicoba pembesaran kepiting bakau dengan dua media yang berbeda yakni tambak dan karamba. Hasilnya pertumbuhan kepiting dalam tambak lebih cepat dibandingkan di dalam karamba. Persoalannya yang dihadapi adalah masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang usaha tersebut dan semakin berkurangnya stok bibit di alam.

 Di desa Barangka, kegiatannya adalah pembesaran teripang dalam wadah karamba. Hasilnya cukup bagus dimana salah jenis teripang dipelihara berhasil memijah dalam karamba dengan banyaknya bibit teripang yang masih kecil dalam karamba. Masalahnya adalah belum diperoleh teknik budidaya yang baik seperti formula pakan tepat untuk membantu pertumbuhan teripang.

 Di desa Waoleona, dilakukan penanaman mangrove (replanting) dan sampai akhir pilot hasilnya cukup bagus dilihat tingkat survival anakan mangrove yang ditanam meskipun tetap ada kendala ‘predator’ seperti kepiting.

 Di Kel. Masiri dan Desa Rahia, coba diperkenalkan metode lain budidaya rumput laut dengan long-line dimana di kedua tempat tersebut kebanyakan menggunakan rakit. Sistem long-line diharapkan bisa mengurangi permasalahan petani pembudidaya, di Masiri misalnya, kegiatan budidaya hanya dilakukan pada saat musim timur karena gangguan ombak pada musim barat sedangkan di Rahia masalah utama yang dihadapi adalah hama lumut. Namun ternyata tidak mudah mengubah kebiasaan mereka termasuk alasan takut gagal.

Memasuki tahun pertama yang berlangsung dari Mei 2003 hingga April 2004, dan tahun kedua dari Juni 2004 sampai sekarang kegiatan sudah lebih kompleks. Sebagai review berikut di paparkan berdasarkan jenis kegiataannya.

a. Pengembangan ekonomi masyarakat

Untuk pengembangan ekonomi hampir semua kegiatan menerapkan sistem dana bergulir (revolving fund) dengan harapan dana yang terbatas bisa diakses oleh banyak orang. Seperti dalam konsep dijelaskan sebelumnya bahwa usaha peningkata ekonomi yang dilakukan tetap akan memperhatikan kelestarian sumberdaya. Usaha budidaya/pembesaran misalnya, disamping bisa memberi nilai tambah juga diharapkan bisa menjadi solusi bagi semakin terbatasnya stok sumberdaya di alam. Usaha budidaya yang telah dilakukan adalah rumput laut (Masiri, Rahia, Pulau Makassar dan Barangka), kepiting bakau dan rajungan (Mone), teripang dan kerang mutiara (barangka). Sedangkan usaha penangkapan diarahkan pada pengadaan rumpon yang diharapkan bisa mengalihkan penangkapan di sekitar pantai untuk mengurangi tekanan terhadap ekosistem karang, ke perikanan lepas pantai (offshore). Kegiatan ini dilakukan di Desa Wawoangi dan Desa Waoleona serta sebagai sarana pendukung diberikan bantuan mesin katinting. Kegiatan ekonomi yang lain adalah microfinance terutama bagi ibu-ibu (aspek pemberdayaan gender) dengan usaha yang bervariasi mulai dari papalele, pembuat abon, pengacip jambu mete, penjual jajanan sampai usaha parut/penggilingan. Pembelajaran yang didapat usaha ekonomi produktif ini terutama hubungannya dengan dana bergulir adalah bahwa sangat perlu analisa kelayakan usaha terutama peluang pasar. Karena pengalaman menunjukkan bahwa kita telah berhasil mendorong masyarakat untuk berproduksi/meningkatkan produk tapi kemudian terkendala pada pemasaran seperti kasus pembuatan abon ikan di Desa Wawoangi dan Kel. Katilombu, Sampolawa.

b. Upaya Pelestarian dan pendidikan lingkungan

Untuk upaya pelestarian lingkungan dilakukan dengan kegiatan rehabilitasi mangrove yang dilakukan di Desa Waoleona dan Desa Mone. Di Desa Waoleona telah dilakukan sejak pilot project sedangkan di Mone baru dimulai pada tahun kedua. Kalau ukurannya adalah prosentase mangrove yang bertahan hidup maka kegiatan di Waoleona cukup baik dengan survival rate sekitar 70 – 80 % dan masih bertahan sekitar 4.000 pohon. Tapi harapannya adalah tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove bukan faktor insentif yang mendorong antusiasme menanam bakau.
Selain rehabilitasi, upaya pelestarian juga dilakukan dengan langkah preventif melalui kegiatan penyuluhan verbal yang difasilitasi oleh jaringan maupun kampanye pelestarian memanfaatkan media audio visual dengan pemutaran film bernuansa lingkungan sampai event lain menanamkan cinta pesisir sejak usia dini seperti lomba lukis untuk anak sekolah bertema pesisir. Yang tidak kalah pentingnya adalah penyadaran yang dilakukan secara kontinu oleh para pendamping lapangan.

c. Advokasi Kebijakan Pesisir

Di tingkat yang lebih tinggi (kabupaten/kota) peran ini banyak dilakukan oleh jaringan melalui kegiatan kajian reguler yang diharapkan bisa memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan. Disamping itu JPKP Buton juga turut aktif dalam proses pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pesisir seperti Rakorbang, lokakarya penyusunan draft perda pesisir, rencana zonasi dan lain-lain. Di level komunitas upaya ini dilakukan oleh LSM mitra, misalnya memfasilitasi penyusunan Peraturan Desa (Perdes) tentang pengelolaan pesisir di Desa Mone Kecamatan Lakudo.
Selama lebih dua tahun bergelut pada pengelolaan pesisir, masih banyak permasalahan pelik yang menghadang. Namun dengan prinsip terus berproses dan belajar dari pengalaman serta tetap membangun ‘jaringan’ dengan berbagai pihak diyakini upaya-upaya yang dilakukan tidak sia-sia minimal kita bisa belajar untuk lebih arif dalam mengelola sumberdaya dan lingkungan pesisir.
--------------------------------------- --------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar