Rabu, 30 September 2009

Bangkok Climate Change Talks 2009

Catatan Bangkok II, 29 September 2009

Oleh: Abdul Halim

Pertama, di sela-sela keriuhan perundingan di Markas Besar UNESCAP, Bangkok, penulis menyempatkan diri berbincang dengan Bapak Armi Susandi, delegasi Indonesia yang berposisi sebagai wakil ketua Working Gorup on Adaptation. Dalam perbincangan itu, terlontar pertanyaan dari benak penulis perihal posisi Manado Ocean Declaration/MOD, apakah akan menjadi acuan tim negosiasi Indonesia dan apa wujud proposal yang akan diajukan?Mendengar pertanyaan ini, Bapak Armi menegaskan bahwa, “memang MOD akan menjadi acuan utama delegasi Indonesia dalam perundingan Bangkok kali ini, khususnya dalam skema adaptasi. Meski saat ini baru sebatas pandangan umum dari pelbagai delegasi negara-negara.
Ada kemungkinan, 3-4 hari ke depan akan ada pembahasan mengenai proposal Indonesia”. Membaca MOD, banyak hal perlu dikritisi menyangkut kejelasan konsep pendekatan terpadu pengelolaan sumber daya laut dan pesisir serta posisi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang tinggal di pulau-pulau kecil, dan sebagainya. Kedua hal ini, misalnya, belum diperjelas dalam gagasan dan konsepnya, baik dalam MOD maupun naskah negosiasi AWG-LCA. Sejauh ini, mereka hanya dilakonkan sebagai korban terentan, bukan subyek yang mampu mengelola keberlanjutan ekosistem laut dan pesisir dalam merespons dampak perubahan iklim.
Kedua, saat hendak kembali ke markas SEAFish di De' Moc Hotel, Bangkok, penulis dan Bapak Yuriun, Koordinator JKMA, bertemu dengan Bapak Riris Marhadi, Deputi Direktur Center for Administration of International Cooperation, Departemen Perindustrian sekaligus menjadi wakil dalam delegasi Indonesia. Dalam percakapan ini, beliau menyampaikan bahwa “butuh upaya ekstra untuk mendapat kesepakatan global di pertemuan Bangkok ini”. Ia mengungkapkan bahwa “negara-negara maju tidak mau membuka diri dan keukeuh pada sikapnya. Dalam soal teknologi transfer, misalnya, mereka tidak mau hanya diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus dibarengi oleh besaran biaya sebagai pengganti atas teknologi yang sudah ditransfer ke negara-negara berkembang”.
Ketiga, dari materi siaran pers yang disampaikan oleh International Indigenous Peoples Forum on Climate Change dapat disebutkan beberapa poin sebagai berikut:
(a) Partisipasi aktif dan efektif masyarakat adat, komunitas lokal, dan kelompok rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah kunci untuk mencapai keadilan iklim dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim. Olehnya, pengetahuan tradisional-adat; solidaritas internasional, penegakan HAM mutlak dibutuhkan dalam mengatasi dampak perubahan iklim;
(b) Mendesak dipatuhinya UNDRIP (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) sebagai solusi untuk memperkuat kapasitas dan resiliensi masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam merespons dampak perubahan iklim dan mengejawantahkannya dalam NAMAs (National Adaptation adn Mitigation Actions) dan NAPAs (National Adaptation Plans and Strategies of Actions);
(c) Kebebasan untuk menghayati tata adat dan FPIC (Free, Prior and Informed Consent) menjadi standar perlindungan minimal hak-hak masyarakat adat dari pelbagai kebijakan sektoral, mulai perencanaan hingga penyelesaian konflik; dan terakhir
(d) if there is no full recognition and full protection for indigenous peoples' rights, including the rights to resources, lands and territories, and there is no recognition and respect of our rights of free, prior and informed consent of the affected indigenous peoples, we will oppose REDD and REDD+ and carbon offsetting projects, including CDM projects. All decision making processes on REDD and REDD+, Clean Development Mechanism, Land Use and Land Use Change and Forests (LULUCF), Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU) as well as other ecosystem-based mitigation and adaptation measures and projects must be conditional to the free informed consent of indigenous peoples.
Dari pinggir Sungai New World City Hotel, demikian penulis sampaikan catatannya. Semoga memberi manfaat dan maslahat bagi kita semua.
Salam Keadilan Perikanan,
Abdul Halim+66 8078 460 40 (No Lokal Bangkok)
to be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar